Pertanyaan Pagi Ini, Satai Minang atau Satai Padang?

Selain rendang, Satai Minang bisa menjadi pilihan penikmat masakan atau kuliner Minangkabau.

oleh Liputan6 diperbarui 12 Apr 2017, 06:01 WIB
Dua kuliner lezat itu menjadi santapan pembuka Festival Kuliner Soto serta Sate Nusantara yang ikut meramaikan momentum TdS 2016.

Liputan6.com, Jakarta - Kuliner khas Nusantara sudah banyak populer di kalangan masyarakat. Masakan atau kuliner Minangkabau satu di antaranya. Berasal dari tanah Sumatera Barat, rumah masakan Padang kini mudah dijumpai di kota-kota besar selain dari kota asalnya. Para pelanggan bisa menikmati sajian kuliner Minangkabau saat pagi, siang, bahkan malam hari.

Selain rendang, Satai Minang bisa menjadi pilihan penikmat masakan Minangkabau. Satai berkuah kental ini memiliki banyak perbedaan jenis dalam penyebutan dan sajian lumuran kuahnya. Masyarakat di luar Minangkabau, menyebutnya Satai Padang.

Namun, masyarakat Padang Panjang menyebut Satai Minang dengan sebutan Satai Padang Panjang. Satai ini memiliki kuah kental berwarna kekuningan yang berasal dari rempah-rempah kunyit.

"Orang-orang Padang Panjang sampai Agam memiliki kuah kuning kunyit. Rasanya pun tidak sepedas seperti Satai versi Piaman atau Pariaman," CEO Kelana Rasa, Arie Parkesit kepada Liputan6.com, beberapa hari lalu.

Rasa pedas Satai Pariaman berbeda dengan Satai Padang Panjang. Satai Minang asal Pariaman ini memiliki warna kemerahan yang dibuat dari bahan dasar cabai merah.

Arie menambahkan, masyarakat Danguang Danguang di Payakumbuh, melumuri Satai Minang dengan kelapa parut. Lumuran kelapa parut yang sudah berbumbu ini menjadikan rasa satai menjadi lebih gurih.

Kuah kental khas Satai Minang berasal dari rebusan tepung beras. Meski penyebutan yang berbeda-beda, bumbu dasar Satai Minang tetap memiliki bumbu dasar. Di antaranya, kunyit, cabai kering, daun kunyit, dan rempah-rempah lainnya.


Awalnya Sajian Menengah ke Bawah

Sate Padang Ajo Ramon (Foto: Good Indonesian Food)

Ciri khas satai Minang memang pada kuahnya yang kental. Hanya saja, terdapat bahan dasar jeroan sapi sebagai pengganti daging sapi atau daging kerbau. Jeroan ini dimanfaatkan oleh kalangan kelas menengah ke bawah pada abad peralihan 18 dan 19 Masehi.

"Pemilihan jeroan tidak lepas dari budi daya ternak masif yang besar pada masa peralihan abad 18 dan 19. Daging dianggap hanya dikonsumsi oleh kalangan kelas atas. Sedangkan kelas menengah ke bawah, memanfaatkan jeroan," ujar penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, Fadly Rahman kepada Liputan6.com, Senin, 10 April 2017.

Menurut Fadly, masyarakat Pariaman menjadi wilayah pertama yang melakukan budi daya ternak masif. Daging yang dianggap hanya dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas menyebabkan pemanfaatan jeroan sebagai salah satu bahan dari Satai Minang.

Penyebaran Satai Minang ke berbagai wilayah Sumatera Barat. Menyebabkan keberagaman bahan dasar dari Satai Minang. Rendang yang umumnya berbahan dasar daging sapi, ternyata dapat diolah menggunakan kerang lokan, nangka sampai aneka herbal.

"Rendang bukan hanya daging, tapi dari kerang lokan, nangka sampai aneka herbal. Merandang sendiri artinya memasak dengan api kecil dalam jangka waktu yang lama," tutur Arie Parkesit kepada Liputan6.com, Rabu, 29 Maret 2017, di Balairung Soesilo Soedarman Kementerian Pariwisata, Jakarta.


Tur Kuliner Plus-Plus



Arie mengatakan, masakan khas Minangkabau berada di urutan teratas dari lima tujuan yang paling diminati di Tur Gastronomi. Kehadiran Tur Gastronomi, suatu kegiatan yang tidak hanya menyantap makanan, tapi juga membahas soal filosofi dan sejarah kuliner di Nusantara.

Informasi yang sehubungan dengan budaya kuliner, bahkan dikemas dengan menarik melalui santapan kulinernya.

"Gastronomi adalah kegiatan kuliner plus-plus. Satu kegiatan yang berhubungan dengan soal makanan, tapi tidak berhenti dengan cita rasa. Namun, juga membahas tentang sejarahnya, filosofinya, hal-hal yang berkaitan dengan bahan bukan hanya pengolahan dan cita rasa," Arie membeberkan.

Selain Minangkabau, deretan tujuan Gastronomi berikutnya adalah Yogyakarta, Solo, Pulau Bali, Pontianak, dan Pulau Sulawesi. Arie mengatakan ada banyak tempat menarik di Indonesia yang secara kultural memiliki akar kuat.

"Ada tempat lain yang misalnya Makassar, lalu Gorontalo yang banyak orang belum tahu, ada Banjarmasin lalu Bali, Lombok yang punya akar budaya yang kuat, itu memang kontennya jadi lebih banyak," kata dia.

Kini, menurut Arie, banyak anak-anak muda yang sulit menyebutkan makanan khas Nusantara. "Coba kalau sebutkan jenis Satai Minang. Mereka akan susah, karena itu bukan sesuatu yang tersedia secara umum."

Hal ini yang membuat Arie bersama Tim Kelana Rasa, ingin menggelar Tur Gastronomi dengan sering berbagi cerita dan pengalaman di media sosial. Dengan demikian, masyarakat umum dapat mengenal kuliner khas Nusantara lebih dekat lagi dan melestarikannya. (Fitra Hasnu)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya