Liputan6.com, Jakarta - Pimpinan KPK memiliki alasan saat memutuskan untuk melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto. Ternyata keterangan Setnov sangat dibutuhkan dalam pengusutan kasus dugaan korupsi e-KTP.
"Kenapa KPK memutuskan pencekalan (Setya Novanto), ini untuk kepentingan kasus tersangka AA (Andi Agustinus). Kami lihat keterangan SN sangat diperlukan, baik dalam pemeriksaan atau persidangan (korupsi e-KTP)," ungkap Wakil Ketua KPK Alex Mawarta saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (11/4/2017).
Advertisement
Sebelumnya, KPK mencekal salah satu saksi dalam kasus mega korupsi e-KTP, yaitu Ketua DPR Setya Novanto. KPK meminta Imigrasi mencegah Setnov karena ia merupakan saksi penting untuk tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Benar, mulai dari hari Senin 10 April 2017, KPK lakukan pencegahan ke luar negeri terhadap Setya Novanto terkait kasus e-KTP untuk tersangka AA. Pencegahan ini dilakukan untuk 6 bulan ke depan," ujar juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Selasa.
Febri menuturkan, pencegahan ini dilakukan oleh KPK agar pemeriksan terhadap Ketua Umum Partai Golkar itu dapat berjalan efektif dan efisien.
Tolak Isi Dakwaan
Dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman serta mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan, Sugiharto, dalam perkara korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP), nama Setya Novanto sering muncul sebagai salah satu pihak yang berperan dalam pengadaan e-KTP dengan total anggaran Rp 5,95 triliun.
Antara lain menghadiri pertemuan di Hotel Grand Melia pada 2010 yang dihadiri Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan Diah Anggraini yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri.
Dalam pertemuan itu, Setya Novanto menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan e-KTP. Sebagai imbalan, Setya Novanto dan Andi Agustinus mendapat 11 persen atau Rp 574,2 miliar, sedangkan Partai Golkar mendapat Rp 150 miliar.
Namun, Setnov dalam keterangan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengaku tak pernah menerima aliran dana suap dari proyek e-KTP.
"Tidak pernah, Yang Mulia," kata Setnov yang dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto, dalam sidang kasus korupsi e-KTP, Kamis 6 April 2017.
Setnov juga mengaku tak tahu secara detail mengenai proyek e-KTP. Meski jabatannya pada saat itu sebagai Ketua Fraksi, dia hanya mendapat laporan terkait rapat pembahasan e-KTP dengan Komisi II DPR melalui Chairuman Harahap. Chairuman sendiri saat itu Ketua Komisi II DPR.