Mengurai Bahasa Betawi - Tiongkok, dari Kuliner hingga Prostitusi

Terdapat jejak peninggalan Tiongkok yang tersisa dalam kebudayaan Betawi, yaitu berupa kata-kata yang terserap dalam Bahasa Betawi.

oleh Rochmanuddin diperbarui 12 Apr 2017, 08:04 WIB
Buruh nelayan saat bekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bahasa Betawi yang kita kenal sehari-hari ternyata berkaitan erat dengan bahasa Tiongkok. Tak terhitung jumlah kata-kata yang diserap menjadi perbendaharaan bahasa Betawi. 

Mengutip buku Robin Hood Betawi, Sin Po, sebuah surat kabar harian yang dikelola masyarakat etnis Tionghoa di Jakarta dalam penerbitan 26 Oktober 1940, mengungkapkan sejumlah kata Tiongkok yang diserap menjadi bahasa Betawi. Kebanyakan kata yang diserap tersebut merupakan nama makanan.

"Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa kata-kata teh, kecap, juhi, kue, lobak, kucai, lengkeng, tengteng, kwaci, dan bahkan tahu berasal dari perbendaharaan Tiongkok," tulis buku karya Alwi Shahab itu yang dikutip Liputan6.com, Rabu (12/4/2017).

Yang mengejutkan adalah kata soto juga berasal dari perbendaharaan bahasa Tiongkok. Tak hanya itu, bakso, lumpia, siomay, bakpau, capcay, bahcang, tongseng, mie, puyunghai, juga berasal dari bahasa Tiongkok.

Dalam bidang obat-obatan juga ada perbendaharaan kata bongtahay, obat antibiotik untuk sakit kerongkongan atau infeksi.

Sejarawan Betawi Ridwan Siaidi dalam buku Profile Orang Betawi menuliskan, bahwa bongtahay adalah akar-akaran yang jika direndam dalam air langsung mekar.

"Akar-akaran ini pada tempo dulu sangat manjur untuk penyakit radang tenggorokan atau sariawan dan panas dalam," tulis dalam buku tersebut.

Karena itu, sampai pada 1950 ada peribahasa orang Betawi: lagu lu kayak bongtahay, enggak boleh direndam, langsung mangkak.

Peribahasa ini menyindir orang-orang yang senang diumpuk-umpuk atau gila pujian, yang dalam bahasa anak muda sekarang ge-er atau gede rasa.

Di bidang peralatan dapur atau alat pecah belah juga banyak perbendaharaan kata Betawi dari bahasa Tiongkok. Seperti dacin atau alat timbangan, teko, pisau, cawan, kuali, kemoceng, tahpang, cita, topo atau alat pembersih dari kain, bakiak, dan anglo atau alat memasak.

Ada juga langkan atau balai rumah, pengkeng atau kamar, kasut atau kaos kaki, kuli, lonceng, loteng, sampan, wayang, tong, gincu, cat, dan centeng.

Yang mengherankan lagi kata Ridwan Saidi adalah 'bangsat' juga berasal dari kata Tiongkok. Ada juga biting atau lidi kecil berasal dari ruas daun kelapa.

"Kini biting sudah sukar dicari karena sudah jarang pedagang yang mengemas makanan dengan daun pisang," kata Ridwan dalam bukunya.


Istilah Prostitusi Hingga Perdagangan

Kondisi sekarang Pelabuhan Sunda Kelapa. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Bahasa Tiongkok juga mempunyai asosiasi prostitusi. Misalnya 'gundik' yang sekarang lebih dikenal istri simpanan.

Sampai abad ke-19 di Jakarta memang banyak orang berduit, terutama di kalangan etnis Tionghoa yang memelihara gundik.

Memelihara gundik pada masa itu dianggap biasa. Bahkan, kata 'cabo' atau 'pelacur', yang telah diperhalus menjadi pekerja seks komersil berasal dari Tiongkok.

"Juga kata 'kawin' dan 'comblang' atau perantara dalam perjodohan," tulis buku tersebut.

Dalam istilah keluarga juga ada kata serapan dari bahasa Tiongkok. Di antaranya 'encang' untuk sebutan paman atau 'encing' untuk bibi, yang sampai sekarang masih dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan, kata 'gue' dan 'lu' yang banyak digunakan warga Jakarta dalam sehari-hari juga berasal dari bahasa Tiongkok. Masih banyak lagi bahasa Betawi yang berasal dari bahasa Tiongkok.

Sebut istilah-istilah aneh yang datang dari negeri Tirai Bambu itu seperti 'cingcong' atau cerewet, 'cincai' atau sudahlah, kate, dan bopeng.

"Suatu hal biasa pada tempo dulu kalau ada orang bersengketa, dinasihati dengan kata-kata: cingcailah, jangan banyak cingcong," sebut Ridwan.

Akibat besarnya peran warga Tiongkok di bidang perdagangan, hingga kini banyak warga Jakarta yang melakukan jual beli menggunakan bahasa Tiongkok.

Di antaranya gotun (lima rupiah), captun (sepuluh rupiah), cepek (seratus rupiah), seceng (seribu rupiah), goceng (lima ribu rupiah) dan seterusnya.

Sayangnya, dalam kedua buku di atas tidak menguraikan kata demi kata serapan bahasa Tiongkok ke bahasa Betawi, baik secara etimologi maupun terminologi.


Akulturasi Budaya

Umat muslim usai salat Idul Fitri di Pelabuhan Sunda Kelapa. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Budaya Tiongkok dengan Betawi memang tak bisa dilepaskan, saling terkait seperti mata rantai menjadi satu-kesatuan budaya.

Terjadinya interaksi dalam bahasa ini, karena Jakarta sebagai kota pelabuhan sudah bercorak internasional sejak berabad-abad lalu, ketika masih disebut Sunda Kelapa--yang merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan, Bogor.

Di bandar ini, orang dengan berbagai latar belakang kebudayaan, termasuk orang-orang Tiongkok, sudah saling berinteraksi saat berdagang.

Karena jauh sebelum kedatangan VOC, orang-orang Tiongkok sudah membawa keramik dan sutera, berjualan di pelabuhan Sunda Kelapa.

Orang-orang Tiongkok bergairah membeli berbagai hasil bumi Nusantara. Termasuk rempah-rempah untuk diangkut ke negerinya menggunakan kapal.

Percampuran selama berbada-abad inilah yang mengakibatkan bahasa Betawi, berakulturasi dengan unsur-unsur kebudayaan Tiongkok. Termasuk juga kebudayaan dari Arab, Belanda, dan Portugis yang ikut memperkaya bahasa Indonesia.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya