Liputan6.com, Ponorogo - Keris sebagai salah satu warisan budaya leluhur di Nusantara, patut dijaga. Setidaknya hal inilah yang melatarbelakangi, Agus Triono (43), warga Ponorogo, Jawa Timur, memilih menekuni usaha pembuatan keris. Tak tanggung-tanggung, ia sudah menjalani bisnis ini selama 12 tahun terakhir.
Kendati terbilang susah membuat sebilah keris, ia yakin dengan ketekunan dan keuletannya serta seni yang tertuang di dalamnya bisa menghasilkan karya seni luar biasa.
"Bahkan untuk sebilah keris saya butuh waktu satu bulan lengkap dengan warangka atau sarung keris serta aksesorisnya," ucap Agus kepada Liputan6.com saat ditemui di Paseban Alun-Alun Ponorogo, Rabu, 12 April 2017.
Peminat keris pun kian tahun terus bertambah. Bahkan, menurut Agus, sejak lima tahun terakhir terus terjadi peningkatan jumlah pemesan keris. Kini, peminat keris tidak hanya datang dari para kolektor, tapi juga kalangan anak muda dan pejabat.
Baca Juga
Advertisement
"Kini orang muda dengan usia 40 tahun ke bawah sudah mulai melirik keris," ujar dia.
Ia membanderol harga sebilah keris buatannya mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung tingkat kerumitan warangka maupun keris.
"Biasanya ada yang minta warangkanya dicampur dengan kuningan, perak ataupun emas, ini yang bikin beda harganya," kata dia.
Alumnus Jurusan Seni Rupa IKIP Surabaya ini menambahkan, kecintaannya kepada keris dimulai pada 1998. Ketika itu, ia membeli keris di pameran. Baru pada 2005, ia memutuskan menjadi perajin keris atau biasa disebut empu.
Namun tidak semua orang bisa disebut empu pada zaman dahulu, seperti Empu Gandring saat Ken Arok hendak menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel.
Tak sesulit dahulu kala, kini bahan baku pembuatan keris terbilang lebih mudah, mulai dari bahan baku seperti besi bisa didapatkan di mana saja. Saat zaman kerajaan kuno di Nusantara, para empu membuat keris dari penghalusan batu yang mengandung besi disertai dengan ritual khusus.
"Kalau saat ini lebih gampang, seperti kayu warangka bisa menggunakan kayu cendana dan timboho, besi tinggal pilih maunya yang seperti apa," ujar Agus.
Di tengah arus globalisasi, ia berharap semakin banyak tumbuh pencinta keris. Ia bahkan sedang getol mencari keris asli Ponorogo. Hanya saja, upaya ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.
"Saya harus ekstra sabar untuk mencari keris organik atau keris asli khas Ponorogo, terutama saat Kerajaan Wengker berdiri," ujar perajin keris asal Ponorogo tersebut.