Liputan6.com, Jakarta - Belakangan, Pilkada DKI Jakarta diramaikan dengan berkembangnya isu Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA). Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid, mengatakan kondisi ini mengingatkannya pada pilpres di Amerika Serikat.
"Kalau lihat fenonema Donald Trump berkuasa dengan isu agama, itu sama persis dengan sebagian orang di sini, menggunakan isu agama. Kalau di sini (Jakarta) yang dituding asing dan kalau di Amerika itu Islam. Sama," ujar Yenny di Century Park Hotel, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (12/4/2017).
Advertisement
Dia menjelaskan, hal ini bisa terjadi karena ada sebagian masyarakat yang mudah sekali terpukau dengan pidato seseorang. Terlebih jelang Pilkada DKI ini.
"Karena sebagian masyarakat kurang berpikir jauh, gampang terpukau pidato menggelora, menyalahkan orang lain, dan mau memilih orang itu," ucap Yenny.
Dia teringat ayahnya, Abdurrahman Wahid atau Gusdur, yang memang mengakui adanya perbedaan dan menunjukkan kalau Islam itu agama sejuk saat menjadi Presiden. Saat ini, kata dia, ada pihak-pihak tertentu yang justru mengatakan sebaliknya.
"Ada pihak menegakkan supremasi kegiatan mereka dengan isu-isu agama dan kesukuan. Guru-guru besar kita kan mengajarkan dakwah Islam sejuk, yang mengayomi kelompok lemah, ajaran agama mengedepankan humanis," tutur Yenny Wahid.
Dia menegaskan, kalau ada sekelompok orang atau pihak-pihak yang ingin menang sendiri dan mengoyakkan persatuan Indonesia, maka masyarakat harus melawannya. Tak terkecuali jelang pencoblosan Pilkada DKI putaran kedua ini. Jika tidak dilawan, lanjut dia, akan terjadi konflik.
"Perlawanan tersebut kembali pada ajaran agama kepada kemanusiaan yang dialog antarsemua umat, yang mengayomi, yang tidak ingin menang sendiri. Paling utama, kita harus selalu ingat potensi konflik banyak negara yang dulu aman-aman saja," pungkas Yenny Wahid.