Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang tak tahu dengan petasan. Benda yang bisa meledak ini menjadi budaya masyarakat Betawi. Budaya yang satu ini konon muncul akibat sepinya kondisi Jakarta pada 1940 hingga 1950.
Permukiman penduduk Jakarta pada masa itu sangat jarang. Satu kampung paling hanya dihuni enam sampai tujuh rumah, yang biasanya masih sanak famili.
Advertisement
Satu kampung dengan kampung lainnya berjarak antara satu hingga dua kilometer, dan begitu seterusnya. Di sekitar kampung juga masih dikelilingi hutan lebat.
"Di sekeliling kampung masih hijau royo-royo dengan pepohonan buah-buahan seperti durian, salak, rambutan, hingga mangga," tulis buku Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi, dikutip Kamis (13/4/2017).
Sungai-sungai di Jakarta pun masih jernih. Semua warga Betawi biasa mandi, mencuci, wudu, dan mengambil airnya untuk berbagai kebutuhan rumah tangga.
Kalau ada warga yang ingin mengadakan hajatan seperti menikahkan anak, khitanan, naik haji, Maulid Nabi, hingga Isra Mi'raj, mereka biasanya mengundang warga kampung lain.
Untuk itulah warga Betawi menyalakan petasan rencengan panjang agar warga lainnya mendengar adanya hajatan. Mereka tak perlu lagi mengundang warga lain karena satu per satu warga pasti berdatangan usai mendengar rentetan suara petasan.
Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Irwan Syafi'ie dalam buku tersebut menyebutkan, banyaknya petasan yang dipasang menunjukkan status sosial seseorang.
"Makin banyak memasang petasan, ia makin mendapat pujian," ujar Irwan, dalam buku terbitan 2001 itu.
Petasan Lokal dan Jepang
Seperti sekarang, kala itu juga ada dua jenis petasan, yakni petasan impor dan petasan lokal. Petasan lokal dibuat oleh perusahaan keluarga yang sudah turun-temurun di Parung, Kabupaten Bogor.
Sedangkan petasan impor berasal dari Jepang. Pada masa pendudukan Belanda, petasan Jepang banyak dijual di Glodok, Senen, Tanah Abang, dan Mester atau Jatinegara.
Secara kualitas memang petasan Jepang selain lebih keras juga nyaring suaranya ketimbang petasan Parung. Warga lebih bangga menggunakan petasan Jepang, karena itu menyebut petasan lokal sebagai 'petasan kampung'.
Petasan bagi warga Betawi, menurut Irwan, biasanya digunakan untuk membangunkan orang sahur saat bulan Ramadan. Sayangnya, bunyi petasan ini bukan hanya membangunkan orang dewasa, melainkan juga anak-anak.
Sedangkan, warga Betawi membunyikan petasan pada saat Lebaran sebagai ungkapan kegembiraan, setelah melaksanakan rukun Islam keempat selama satu bulan penuh.
Tapi, kini menyalakn petasan dianggap sebagai perbuatan yang mubazir atau pemborosan. Bahkan, kini dilarang karena kerap memakan korban dan juga kerap dipakai untuk tawuran.
Mengusir Roh Halus
Petasan sejatinya datang dari Tiongkok. Kebudayaan ini dibawa para imigran Tiongkok yang datang ke Batavia pada masa kolonial atau sekitar abad ke-18.
Orang Tiongkok pada masa itu 30 persen dari penduduk Batavia yang berjumlah sekitar 50 ribu jiwa. Sejak awal penjajahan, para gubernur jenderal VOC memang sangat membutuhkan tenaga untuk membangun Batavia.
Orang Tiongkok di mata Belanda dianggap pekerja keras, ulet, dan tidak gampang menyerah. Keberadaan mereka juga tetap mempertahankan kebudayaannya, mulai dari kebiasaan minum arak, judi, hingga memasang petasan.
Orang-orang Tiongkok percaya petasan dapat mengusir roh halus seperti jin, setan, atau iblis. Konon di daratan China terjadi wabah penyakit mematikan. Wabah itu menjalar dengan cepat hingga korban berjatuhan.
Mereka percaya wabah datang akibat ulah jin, setan atau iblis. Untuk mengusirnya, penduduk Tiongkok pun memukul benda-benda bersuara nyaring seperti seng, tambur dan gendang.
Lama kelamaan, terciptalah petasan dari berbai jenis, seperti yang dapat ditimpuk atau dilemparkan, tujuannya adalah untuk mengusir roh halus. Akhirnya kebudayaan ini dibawa para imigan Tiongkok ke Batavia.
Advertisement