Cerita Perjalanan: Ruh Semesta yang Mengajak ke Bunaken

Berkunjung ke Bunaken bagi saya adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Simak cerita perjalanan Retno Wulandari menjamahi keindahan Bunaken.

oleh Retno Wulandari diperbarui 13 Apr 2017, 14:06 WIB
Foto: Retno Wulandari

Liputan6.com, Jakarta Berkunjung ke Bunaken bagi saya adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Bulan April 2016, saya sempat berharap menjadi pemenang lomba menulis bertema wisata alam yang diadakan oleh sebuah situs adventure dengan hadiah utama Trip to Bunaken. Tiga tulisan adventure yang saya kirim rupanya hanya masuk nominasi 20 besar. Meski kecewa karena tak lolos 10 besar, tapi dengan penuh keyakinan saya berkata dalam hati, “tahun ini saya pasti ke Bunaken”.

Rupanya keinginan kuat itu telah masuk dalam alam bawah sadar saya. Sehingga tanpa saya sadari ruh semesta menuntun melalui berbagai cara yang tak terduga hingga akhirnya sebuah kesempatan (gratis) membawa saya ke Taman Nasional Bunaken yang menjadi ikon pariwisata Manado, Provinsi Sulawesi Utara, Oktober 2016.

Kisah berawal dari perkenalan saya dengan teman satu kamar bernama Lintang Rembulan, yang berprofesi sebagai arsitek asal Yogyakarta. Kami sama-sama terlibat dalam acara pertemuan akbar orang muda Katolik se-Indonesia di Kota Manado. Saya datang sebagai tim peliput acara sementara Lintang datang sebagai narasumber.

Malam itu Lintang dan kedua narasumber lain, Lintang (kebetulan namanya sama dengan teman sekamar saya) asal Jakarta dan Yunita asal Bandung mengajak saya untuk bergabung bersama mereka pergi ke Bunaken. “Ayolah mbak, kapan lagi. Mumpung kita disini. Sayang kalau gak sampai ke Bunaken,” bujuk Lintang saat saya menolak ajakannya.

Keesokan harinya Lintang terus merajuk agar saya mau bergabung. Dan pukul 09.00 Wita setelah saya menyelesaikan satu tulisan, saya pun mengiyakan ajakannya.

Foto: Retno Wulandari


Singkat cerita, pukul 10.00 Wita kami tiba di Dermaga Manado. Sebuah perahu motor Fortuna yang dinahkodai Pak Ahong telah bersiap menjemput kami one day trip. Saya, Lintang, dan dua kawan yang baru saya kenal pagi itu menyewakapal tersebut dengan tarif Rp 2 juta, sudah termasuk keliling tiga pulau, snorkeling, sewa alat snorkeling, sewa kamera GoPro dan wetsuit. Biaya tersebut tidak termasuk pemandu snorkeling. Karena Pak Ahong siap memandu kami, akhirnya kami menambahkan Rp 150 ribu untuk jasanya.

Cuaca sangat bersabahat saat itu, matahari bersinar cukup terik. Langit biru membungkus samudera, dihiasi awan-awan putih yang menggantung seperti kapas. Suara motor mesin Pak Ahong memecah kesunyian, membelah laut. Tak terasa 40 menit berlalu, dan sampailah kami di ikon wisata Provinsi Sulawesi Utara yang telah mendunia ini.

Foto: Retno Wulandari


Tulisan ‘Welcome to Bunaken’ yang semula samar-samar mulai terlihat jelas. Terbersit rasa tak percaya bahwa saya bisa menapaki taman wisata laut yang sangat terkenal se-Nusantara bahkan dunia ini. Perahu mulai berlabuh, kami turun untuk mengambil perlengkapan snorkeling. Sembari menunggu teman-teman yang sedang berganti pakaian. Saya berkeliling di sekitar pulau. Tak ada yang istimewa di pulau ini. Hanya ada sebuah dermaga kayu beratap genting biru bercat orange, dengan beberapa perahu motor yang tertambat di sana. Juga warung-warung penduduk yang berjejer di bibir pantai.


One day Trip Pulau Bunaken, Nain, Siladen

Setelah semua bersiap, one day trippun dimulai, kami mengeksplor keindahan Taman Laut Nasional Bunaken yang memiliki luas sekitar 75 ribu hektar.Dihuni lebih dari 390 habitat terumbu karang beserta ribuan jenis ikan tropis. Selain Pulau Bunaken, terdapat empat pulau lain, yakni Pulau Naen, Siladen, Manadotua, dan Mantehage.

Perahu motorbergegas meninggalkan dermaga Bunaken menuju laut bebas. Setelah berkendara kurang lebih 20 menit,mesin motor mulai dimatikan. Tampak perahu-perahu motor lain berhenti dan terombang-ambing. Rupanya lokasi ini menjadispot favorit untuk snorkling dan penyelaman. Tepat dibawah perahu kami terdapat sebuah tebing dan dinding karang raksasa vertikal dan melengkungyang menghujam ke dasar laut mencapai kurang lebih 25-30 meter. Dinding karang tersebut menjadi hunian sekaligus surga makanan bagi ribuan jenis ikan dan biota laut lainnya.Bila beruntung di tempat inikita bisa menjumpai kawanan penyu.

Satu per satu kami terjun dan berpencar. Namun pak Ahong mengingatkan agar kami tidak mendekati palung karena arusnya sangat kuat.

Foro: Retno Wulandari


Aneka jenis terumbu karang berbagai ukuran dan warna yang berbeda-beda bisa ditemukan disini ada yang putih, biru, hijau, merah mudah, juga kuning. Benar-benar seperti sebuah taman bunga. Menjadi semakin indah tatkala aneka jenis ikan seperti Ikan Unicorn, Ikan Wrasse, Ikan Trigger, Ikan Sweettlip, Ikan Dansel serta ribuan jenis ikan lain lalu lalang di depan saya. Pun tingkah lucu ikan-ikan yang bermain petak umpet di antara terumbu karang, sungguh menggemaskan. Saya hanya bisa bersorak gembira, “Ohhh Tuhan indah sekali.”

Sesaat berenang bersama aneka jenis ikan. Tiba-tiba dari bawah tebing karang kulihat seekor penyu yang berenang sendirian. Senang sekaligus takjub dibuatnya.

Foto: Retno Wulandari


Dari spot pertama kami bergegas ke spot-spot berikutnya, dan semua menyajikan keindahaan yang sama. Mata saya benar-benar dipuaskan oleh pesonanya. Hari itu kami hanya bisa mengunjungi tiga pulau saja, yakni Bunaken, Siladen, dan Naen.

Pulau Naen sering disebut sebagai pulau pasir. Karena di pulau ini hanya terdapat hamparan pasir yang akan terlihat kala laut surut, sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Sayang saat kami tiba pukul 13.00 Wita, laut masih pasang sehingga hamparan pasir belum terlihat.

Untuk mencapai pulau ini kami harus berganti perahu kecil. Perahu motor pak Ahong tidak bisa mencapai pulau ini karena terlalu dangkal dan banyak karang yang tajam. Sebuah perahu nelayan telah menanti dan siap mengantar kami ke Pulau Nain. Saat kami turun, air laut masih setinggi dengkul. Kami memutuskan singgah sebentar hanya untuk berfoto dengan latar belakang Gunung Manadotua.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya