Liputan6.com, Jakarta Kasus penistaan agama yang menjerat Calon Gubernur (cagub) DKI pertahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tidak dapat dipungkiri juga memberi dampak bagi pasangan calon wakil gubernurnya, yaitu Djarot Saiful Hidayat. Hal tersebut tampak saat Djarot beberapa kali mendapat penolakan dan kejadian kurang mengenakan yang menimpa dirinya saat hadir di beberapa tempat di Jakarta.
Sama halnya ketika Djarot Saiful Hidayat menghadiri acara Haul Soeharto sekaligus shalawat untuk negeri di Masjid At Tin, Jakarta Timur pada Maret lalu. Mantan Walikota Blitar tersebut mendapat pengawalan ketat sejak keluar masjid hingga masuk ke dalam mobilnya karena sejumlah jemaah mengejarnya dan meneriakinya.
Advertisement
Bahkan, sempat terjadi ketegangan saat Djarot meninggalkan lokasi acara Haul Soeharto sekaligus shalawat untuk negeri sekitar pukul 20.30 WIB. Ada lemparan botol minuman ke arah kerumunan orang yang mencoba melindungi Djarot.
Calon wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut dua itu mengaku dirinya tidak takut meski mendapat sambutan kurang baik ketika menghadiri acara haul Presiden ke-2 RI Soeharto sekaligus peringatan Supersemar. Menurut Djarot, dia tidak takut karena dirinya memiliki niat yang baik yaitu untuk menghormati undangan dari keluar Presiden Soeharto.
“Enggak (takut) karena niatku baik. Nawaitu (niat) saya baik, saya ikhlas dan saya tidak menyakiti hati mereka,” ujar Djarot.
Djarot beranggapan, kejadian tersebut dialaminya lantaran warga salah paham karena belum mengenal dia. Sebab, Djarot tidak merasa pernah bersikap buruk terhadap mereka. Bahkan, Djarot justru membalas aksi provokatif itu dengan tetap menebar senyum. “Mereka mungkin belum kenal saya saja. Apa pernah saya memaki mereka? Menista mereka? Membenci mereka? Enggak pernah. Makanya saya senyum aja,” ujar Djarot.
Kejadian penolakan dan tidak mengenakan, kembali dialami oleh Djarot saat dirinya menunaikan shalat Jumat di Masjid Jami Al Atiq di Tebet, Jakarta Selatan. Kejadian tersebut membuat Djarot harus buru-buru keluar dari Masjid, lantaran ia mendapat penolakan dari sejumlah jamaah masjid tersebut.
Kejadian itu sendiri terjadi seusai Djarot menunaikan shalat Jumat. Beberapa jamaah dan takmir masjid berteriak meminta Djarot secepatnya keluar dari masjid sambil ngucap takbir. Menurut Djarot, awalnya kehadiran dia di masjid tersebut mendapat sambutan yang hangat dari para jamaah. Bahkan jamaah yang sudah berada di dalam masjid sempat berfoto dan bersalaman dengannya sebelum salat Jumat dimulai.
"Jemaahnya baik, tadi salaman foto-foto. Mungkin takmirnya baru tahu pas banyak orang salaman dan foto-foto sama saya. Sehingga ya pidatolah di situ," ujar Djarot usai salat Jumat.
Namun, kejadian tak enak itu mulai terjadi saat takmir masjid mengetahui kehadiran Djarot di masjid tersebut. Menurut Djarot, usai
membacakan laporan keuangan, takmir masjid langsung mengubah pidatonya menjadi provokatif.
“Mereka yang memilih pemimpin seorang nasrani atau yahudi itu orang munafik. Bila kita memilih orang non muslim sementara ada orang muslim sebagai pilihan, itulah kita dicap jadi seorang munafik,” ujar seorang jamaah yang menggunakan mikrophone.
Selain itu, di tengah khotbah, penceramah juga menyampaikan hal serupa. "Insyaallah akan dapat rida Allah dan rahmat Allah. Mari kita
memilih pemimpin muslim dan niat kita diridai Allah," ujar penceramah.
Sebelumnya, pada jalan masuk ke arah masjid yang didatangi Djarot untuk menunaikan shalat Jumat tersebut, terdapat spanduk bertuliskan 'Tolak Penistaan Agama di Kampung Melayu Tercinta'. Namun, meski terdapat spanduk provokatif, Djarot yang hadir pada pukul 11.47 WIB, tampak santai dan tidak terpengaruh.
Semula Djarot merasa jemaah di masjid itu menerima kedatangannya. Bahkan mereka sempat meminta bersalaman dan berfoto. Namun, situasi berubah ketika seorang takmir menyampaikan larangan memilih pemimpin non-muslim menjelang salat Jumat digelar. "Sebetulnya jemaahnya tidak apa-apa. Cuma tadi takmirnya yang mulai provokasi," ujar Djarot.
(*)