Liputan6.com, New York - Karena dendam, seorang pria menggunakan aplikasi kencan untuk mencemarkan reputasi mantan kekasihnya. Ribuan orang pun berdatangan kepada mantan kekasihnya itu dan menagih melakukan seks.
Seorang pria homoseksual bernama Matthew Herrick (32) mengaku menjadi korban balas dendam yang rapi melalui platform khusus perkencanan kaum homoseksual dan biseksual Grindr.
Baca Juga
Advertisement
Seperti dikutip dari CNN pada Sabtu (15/4/2017), pria mantan kekasihnya diduga menciptakan akun baru atas nama Herrick. Akun palsu itu lengkap dengan foto-foto dan perincian pribadi korban. Selain itu, ditambahkan juga 'pengakuan' bahwa Herrick positif mengidap HIV.
Gawatnya, menggunakan akun palsu itu, dalam 5 bulan terakhir tersangka mengundang banyak pria ke apartemen dan restoran tempat Herrick bekerja. Setiap hari bisa 16 orang tak dikenal mendatangi Herrick.
Yang lebih nyeleneh, mereka diminta tidak menyerah jika Herrick pertama-tama menghindar, karena itu menjadi "sebagai bagian dari fantasi atau permainan peran yang disepakati bersama."
Kasus tersebut mengundang pertanyaan penting dalam zaman media sosial sekarang ini, berkaitan dengan samaran, penguntitan, dan pelecehan.
Ahli hukum Aaron Mackey dari Electronic Frontier Foundation, mempertanyakan, "Apakah tanggungjawab legal Grindr? Apakah tanggungjawab etika oleh perusahaan kepada para penggunanya ketika mereka melihat platform itu disalahgunakan seperti ini?"
Di Amerika Serikat, Pasal 230 dalam Communications Decency Act (CDA) 1996 dapat berperan dalam hal ini, seperti kebanyakan aduan tentang platform teknologi.
Peraturan itu memberikan perlindungan unik secara hukum yang memberikan lapisan kekebalan kepada perusahaan daring dari tanggungjawab terhadap konten unggahan pengguna. Perusahaan diwajibkan bertindak dalam niat baik untuk melindungi pengguna.
Pada 2015, Grindr menggunakan CDA untuk lolos dari suatu kasus lain. Perusahaan itu didapati tidak perlu bertanggungjawab dalam gugatan yang diajukan seorang pria yang ditangkap karena hubungan seksual dengan seorang anak yang ditemuinya melalui aplikasi tersebut.
Namun demikian, dalam kasus Herrick, pengacara Carrie Goldberg dan Tor Ekeland merujuk kepada peraturan-peraturan lain. Menurut aduan yang diajukan pada 31 Maret, mereka menyangkakan adanya tanggungjawab terhadap produk, dan praktik-praktik bisnis menipu dan tak dapat dipercaya.
Pembiaran dan Kemampuan Teknis Perusahaan
Goldberg dikenal membantu kasus-kasus privasi seksual dan balas dendam pornografi. Menurutnya, "Sebagian besar tugas kami adalah menemukan celah dan lubang dalam Pasal 230.
Perusahaan tidak layak mendapat perlindungan khusus ketika produknya berbahaya dan Pasal 230 tidak memberikan perlindungan dalam kasus-kasus seperti itu."
Kasus itu pada awalnya diajukan di pengadilan negara bagian New York pada Januari lalu, tapi kemudian, pada Februari lalu, kasus naik ke pengadilan federal atas permintaan Grindr.
Menurut gugatan, ada lebih dari 100 laporan penanda profil palsu tersebut dikirimkan melalui aplikasi Grindr, tapi hanya dijawab secara umum saja, "Terima kasih atas laporan Anda."
Syarat layanan Grindr menyatakan bahwa akun penyamaran tidak diizinkan, tapi tidak jelas apakah Grindr bisa melacak akun-akun demikian. Sebuah surel dari penasehat hukum Grindr pada Maret lalu mengatakan bahwa perusahaan itu tidak bisa mencari foto-foto, demikian menurut isi gugatan.
"Grindr mengaku tidak bisa mengendalikan siapa yang menggunakan produknya dan tidak memiliki kemampuan perangkat lunak yang dipakai oleh para kompetirornya dan industri media sosial."
Tapi, menurut Matthew Zeiler, pendiri Clarifai, suatu perusahaan pemula pengenal citra, ada banyak cara abgi perusahaan untuk mengenal gambar tertentu yang ada di platform mereka. Pihak ke tiga penyedia layanan bisa membantu memberikan kemampuan untuk itu.
Ada proses-proses yang disebut "image hashing" atau "visual search" yang dapat mendeteksi gambar-gambar yang nyaris merupakan duplikat diunggah ke platform layanan internet.
Melalui pernyataannya, Grindr mengaku "bertekad menciptakan lingkungan aman melalui perangkat sistem penilain digital maupun oleh manusia dan menganjurkan pengguna untuk melaporkan kegiatan mencurigakan dan mengancam."
"Kami terus meningkatkan proses ini, tapi penting untuk diingat bahwa Grindr adalah platform terbuka. Grindr bekerjasama dengan penegak hukum secara regular dan tidak mendukung perilaku penyesahan dan kekerasan."
Pihak Grindr maupun penasehat hukumnya tidak mau memberi komentar terhadap litigasi yang sedang berlangsung.
Advertisement
Adu Cepat Antara Hukum dan Teknologi
Minggu lalu, Facebook mengumumkan cara baru memerangi penyebaran "pornografi balas dendam" pada platform tersebut. Perusahaan mengatakan akan menerapkan pencocokan foto untuk memastikan gambar intim tanpa ijin yang telah dilaporkan tidak bisa lagi diunggah ulang melalui Facebook, termasuk Messenger dan Instagram.
Gugatan awal terhadap Grindr menyebutkan bahea aplikasi kencan Scruff yang juga dipakai menyebarkan profil palsu oleh mantan kekasih Herrick, bahkan mampu menyingkirkan profil dan melarang alamat protokol internet (IP) seseorang.
Setelah dihubungi oleh CNNTech, pria mantan kekasih Herrick membantah telah menciptakan akun-akun palsu dan menolak berkomentar lebih jauh.
Sementara itu, pengacara Neville Johnson dari Johnson & Johnson, LLP menyebutkan kepada CNNTech perlunya hukum yang mempidanakan penyamaran secara daring dan melindungi korban. Menurutnya, "Peraturan kewalahan mengejar kemajuan teknologi. Perusahaan bisa mengenali dan menghentikan hal seperti ini, tapi mereka tidak mau melakukan kewajiban tersebut."
Pengacara David Gingras yang sering membela perusahaan-perusahaan di bawah Pasal 230 mengatakan bahwa kasus-kasus seperti ini akan bertambah.
Katanya, "Sekarang ini ada pertempuran antara penyedia pendapat daring dengan orang yang tidak menyukai pendapat itu. Sepertinya akan lebih ramai. Orang melakukan yang terburuk secara daring dan itu mengesalkan, tapi bukan itu masalahnya, melainkan siapa yang dipersalahkan karenanya."
Banyak kasus yang tidak pernah dibawa ke pengadilan, demikan menurut suatu sumber kepada CNNTech. Perusahaan yang digugat mencapai kesepakatan untuk menarik unggahan guna menghindari biaya habis-habisan.
Tapi, Golderg tidak berniat mundur. Ia telah merencakan langkah berikutnya yang memaksa Google dan Apple untuk menghapus Grindr dari app store mereka.
Kata wanita pengacara itu, "Kalau pengadilan tidak memandang Grindr bertanggungjawab atas suatu produk berbahaya…kami perlu menelusuri kewajiban "penjual" yang memungkinkan produk itu tersedia."
"Gugatan hukum yang diajukan memberitahu mereka bahwa suatu produk berbahaya, yang disebut-sebut tidak dapat dikendalikan oleh pembuatnya, telah diunduh melalui pasar mereka."
Goldberg memisalkan hal itu dengan suatu aki mobil yang meledak di muka seseorang. Katanya, "Kalau pembuat dan penjualnya sama-sama mengetahui bahwa aki itu bisa meledak, ada kewajiban untuk memberitahukan risiko itu kepada para pengguna."
"Demikian juga dengan kewajiban melakukan evaluasi apakah produk itu sedemikian berbahaya sehingga harus ditarik seluruhnya dari pasaran."