Liputan6.com, California - Meski pertumbuhan bisnis terbilang pesat, kenyataannya Uber harus merugi sebesar US$ 2,8 miliar (setara dengan Rp 37,2 triliun) pada 2016.
Angka kerugian yang besar tersebut tidak termasuk kerugian Uber di Tiongkok yang menyentuh US$ 1 miliar (Rp 13 trilun) per tahunnya. Kerugian Uber di negara itu tak terhitung karena perusahaan sudah menjual unit bisnisnya ke kompetitor Didi Chuxing.
Angka kerugian puluhan triliun ini diakui General Manager Uber Amerika Serikat (AS) Rachel Holt. Walau merugi besar, petumbuhan penjualan Uber tetap berjalan konstan alias naik perlahan terus menerus.
Baca Juga
Advertisement
“Kami beruntung karena bisnis kami sehat dan terus tumbuh. Kami memiliki cukup ruang untuk berubah di sisi manajemen, akuntabilitas, kebudayaan, organisasi, dan hubungan dengan para sopir,” tutur Holt.
Bagaimana pun, cara Uber mengumumkan laporan keuangannya itu terbilang cukup mengagetkan. Sebab, Uber adalah perusahaan privat di mana mereka tidak diwajibkan untuk merilis laporan keuangan.
Perusahaan berdalih, mengumumkan kondisi keuangan dinilai dapat meningkatkan nilai percaya diri dari investor, karyawan internal, dan juga pihak lain.
Apalagi, belum lama ini Uber juga dirundung masalah yang ditengarai dapat mencoreng citra perusahaan. Masalah itu tak lain berasal dari insiden pelecehan seksual antar-karyawan hingga gerakan memboikot Uber, dengan tagar #DeleteUber di media sosial.
(Jek/Isk)