Liputan6.com, Bantul - Dulu peralatan ini seolah menjadi benda wajib yang harus diikutsertakan dalam sebuah ritual tradisi budaya. Kini, benda berwujud anyaman janur yang dibuat secara manual itu mulai tergantikan dengan besek atau tampah yang banyak dijual di pasaran.
Namanya panjangilang. Biasanya, benda yang merupakan hasil akulturasi Hindu dan Islam ini dibuat dan dipakai saat perayaan Merti Dusun.
Sebuah dusun bernama Krekah yang berada di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, masih konsisten menggunakan keranjang dari anyaman janur ini sebagai tempat uba rampe atau sesaji.
Baca Juga
Advertisement
"Panjangilang semakin jarang dipakai, hanya beberapa dusun yang masih menerapkannya dalam upacara tradisi. Bahkan, ada yang menggantinya dengan keranjang plastik," ucap Hari Purwanto, warga Dusun Krakah, beberapa pekan lalu.
Ia menuturkan panjangilang memiliki nilai filosofis yang dipelihara daei generasi ke generasi. Simbol kekompakan dan kegotongroyongan. Janur yang dianyam melambangkan keterikatan antarwarga dan apabila satu ikatan bebas, maka yang lain pun menjadi lepas.
Menurut Hari, hal itu membuat warga merasa bertanggung jawab untuk melestarikan panjangilang dan membuat secara bersama-sama menjelang ritual tradisi di dusunnya.
Janur yang melimpah di Krekah menguntungkan warga ketika akan membuat panjangilang. Tidak lebih dari dua jam keranjang anyaman janur itu sudah jadi.
Tradisi membuat panjangilang secara turun-temurun menuntut semua warga bisa menganyam janur dengan mudah. Bagi warga yang baru pertama kali menganyam bisa dengan lancar menyesuaikan setelah diberitahu langkah-langkahnya.