Liputan6.com, Ankara - Presiden Recep Tayyip Erdogan mengklaim memenangkan referendum Turki yang menggantikan sistem parlemen dengan sistem presidensial. Perubahan sistem pemerintahan tersebut memungkinkan Erdogan memperoleh kekuasaan lebih luas.
Menurut kantor berita Turki Anadolu, jumlah suara yang telah dihitung sebesar 99,8 persen dan Erdogan memperoleh 51,4 persen suara. Pernyataan kemenangan itu diumumkan meski Komisi Pemilihan Turki belum merilis hasil resmi.
Advertisement
"Ini adalah keputusan bersejarah, bukan hal biasa," ujar Erdogan saat mengumumkan kemenangannya. "Kita melaksanakan reformasi paling penting dalam sejarah bangsa kita."
Atas kemenangan tersebut, Erdogan mengatakan segera berupaya mengembalikan lagi hukuman mati. Hal tersebut dinilai sebagai langkah yang akan mengakhiri kemungkinan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Namun pihak oposisi mempermasalahkan hasil referendum Turki. Mereka mengatakan otoritas pemilihan negara telah memutuskan untuk mengubah aturan di tengah-tengah 'permainan'.
Hal tersebut merujuk pada keputusan Dewan Pemilihan Tinggi yang mengatakan akan menerima surat suara yang tak dicap secara resmi, padahal sebelumnya mereka menyebut akan menolaknya.
Dilansir CNN, pihak oposisi menyebut hal tersebut akan mempengaruhi keabsahan suara. Salah satu anggota Partai Republik Rakyat atau CHP, Erdal Aksunger, menyerukan penghitungan parisal sebesar 37 persen.
"Dewan Pemilihan Tinggi telah gagal dengan mengizinkan kecurangan dalam referendum," kata Wakil Ketua CHP, Bulent Tezcan.
"Dewan Pemilihan Tinggi telah mengubah aturan setelah pemungutan suara dimulai. Ada klausul jelas dalam undang-undang pemilihan bahwa surat suara yang tak dicap tidak akan sah...," ujar Tezcan.
Hal serupa pun dikemukakan oleh pemimpin CHP, Kemal Kilicdaroglu dalam sebuah konferensi pers. "Atas dasar apa Anda mengumumkan bahwa ini valid? Anda tak seharusnya mengubah perturan di tengah permainan...Ini tak benar. Kami tak akan pernah menerima ini."
Dengan berubahnya sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial, presiden akan memiliki kewenangan untuk menunjuk pejabat publik termasuk menteri dan wakil presiden, mengeluarkan dekrit, memilih hakim senior serta campur tangan dalam peradilan, bahkan membubarkan parlemen.
Secara teoritis, hal tersebut memungkinkan Erdogan yang telah mendominasi politik Turki sejak 2003, akan terus berkuasa hingga 2029.
Sebagian besar perubahan tak akan berpengaruh banyak hingga Turki melakukan pemilihan presiden berikutnya pada 2019. Namun sejumlah pihak menilai, kekuatan yang dimiliki Erdogan dalam politik Turki memungkinan dirinya tak bisa dikalahkan siapa pun.
Selain menuai gugatan dari oposisi, referendum Turki diwarnai dengan sejumlah insiden. Tiga orang tewas dalam perselisihan terkait politik di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Diyarbakir pada 16 April pagi. Sementara itu, dua pejabat dari partai oposisi utama dipukuli di TPS lain oleh penyerang yang belum diketahui identitasnya.
Dikutip dari The Telegraph, Senin (17/4/2017), di tempat lain ratusan pemuda turun ke jalan di Kadikoy untuk memprotes hasil referendum Turki. "Erdogan pencuri. Erdogan pembunuh," teriak pengunjuk rasa.
"Saat ini masa depan gelap. Kami berharap demokrasi akan menemukan jalannya, tapi ternyata tidak. Sekarang tak ada demokrasi. Aku ingin tertawa tapi sebenarnya aku benar-benar menangis," ujar seorang pelajar berusia 21 tahun, Yakup Yeldiz.
Warga lain, Mustafa Sacat (62), mengaku biasanya memihak Erdogan dan partai yang didirikannya, AKP. Namun, dia mengaku tak ingin melepaskan sistem parlementer yang telah digunakan Turki sejak 1920.
"Aku menyukai Erdogan tapi aku ingin tetap menggunakan sistem parlementer," kata Sacat.