Ada Mediasi, Batu Mulai Disingkirkan dari Tol Reformasi Makassar

Aksi blokade penuh Jalan Tol Reformasi, Makassar, Sulawesi Selatan, sempat berlangsung selama enam jam.

oleh Eka Hakim diperbarui 17 Apr 2017, 16:35 WIB
Ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya memblokade Jalan Tol reformasi Makassar, Senin (17/4/2017). (Liputan6.com/Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya memblokade Jalan Tol Reformasi, Makassar, Sulawesi Selatan, hari ini.

Penutupan jalan bebas hambatan menggunakan batu karang tersebut karena ahli waris lelah menunggu iktikad baik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR). Yakni, membayarkan sisa ganti rugi lahan mereka yang dibebaskan menjadi Jalan Tol Reformasi sejak tahun 2001 sebesar Rp 9 miliar lebih.

"Kami baru dibayar sepertiga dari total ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp 12 miliar lebih. Sisanya 16 tahun lebih kami menunggu dan sampai saat ini tak ada hak kami diberikan," ucap Andi Amin Halim pendamping hukum ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya, Senin (17/4/2017).

Delapan bulan lalu, ahli waris bersama warga setempat serta sejumlah aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) Sulsel mendirikan tenda di atas lahan mereka yang dijadikan sebagai Jalan Tol Reformasi Makassar.

Kendati ada aksi protes, Kementerian PUPR tetap bergeming. Alhasil, ahli waris dan ratusan warga memblokade Jalan Tol Reformasi Makassar dengan menghamburkan batu karang sebanyak dua truk.

"Kementerian PUPR juga ingkar janji dari hasil mediasi oleh Kapolda Sulsel untuk segera membayarkan sisa ganti rugi lahan, sehingga kami menilai mereka tak ada iktikad baik sedikit pun," ujar Amin.

Amin berharap Presiden Joko Widodo atau Jokowi bisa turun tangan dan menindak Kementerian PUPR yang dianggap menyengsarakan warga kecil. Apalagi, mereka harus beraktivitas di dalam tenda plastik lantaran tak punya tempat tinggal lagi.

"Lahan mereka dicaplok begitu saja oleh Kementerian PUPR tanpa diberi ganti rugi, sehingga warga ahli waris pemilik lahan mengambil kembali lahannya," kata Amin.

Ia menegaskan kepada semua pihak bahwa lahan untuk Jalan Tol Reformasi Makassar milik ahli waris secara yuridis belum berstatus jalan tol karena belum dibayarkan ganti ruginya. Dengan demikian, penegak hukum sekalipun tak boleh menekan warga dan ahli waris ketika mengambil alih lahan.


Solusi Sementara

Ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya memblokade Jalan Tol reformasi Makassar, Senin (17/4/2017). (Liputan6.com/Eka Hakim)

Upaya penguasaan lahan jalan tol oleh ahli waris bersama warga dan sekelompok aktivis mahasiswa yang dimulai sejak Senin sekitar pukul 06.00 Wita tadi berlangsung hingga pukul 12.00 Wita. Setelah terjadi kemacetan total yang parah, ahli waris akhirnya diundang pertemuan mediasi oleh pihak Bina Marga dan pengelola jalan tol di Gedung Menara Bosowa, Makassar.

Setelah pertemuan berlangsung setengah jam lebih, ahli waris pun bersedia membuka kembali setengah jalur ruas jalan. Sebab, ada kesepakatan dengan pengelola jalan tol dan Bina Marga.

"Dari kesepakatannya tadi, pekan ini PT Bosowa dan Bina Marga akan bersama-sama kami (ahli waris) berangkat menemui Kementerian PUPR mendesak sisa pembayaran ganti rugi lahan sesuai dengan perintah amar putusan Mahkamah Agung di tingkat Peninjauan Kembali (PK) II," Amin menjelaskan.

Jika nantinya upaya itu kembali diingkari, Amin menegaskan pihaknya akan menutup dua jalur jalan tol sesuai kesepakatan yang terbangun dengan pengelola jalan tol, PT Bosowa Makassar.

Upaya mediasi turut dihadiri oleh Kapolsek Tallo Komisaris Polisi (Kompol) Tampa Hamid dan Kasat Intel Polrestabes Makassar AKBP Kaimuddin. Sementara dari pengelola jalan tol dihadiri langsung Direktur Utama Bina Marga Anwar Toha dan Komisaris PT Bosowa Makassar  Ismail M.

"Iya pekan ini kami bersama perwakilan ahli waris akan menghadap ke Kementerian PUPR untuk mencari opsi luar biasa," ujar Anwar selaku Dirut Bina Marga yang turut diamini Komisaris PT Bosowa sebagai pengelola Jalan Tol Makassar usai menggelar pertemuan dengan pihak ahli waris di Gedung Menara Bosowa, Makassar.


Dugaan Rekayasa Putusan

Penumpahan dua truk batu karang itu untuk mendapatkan perhatian dari Kementerian PUPR. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Masalah ganti rugi lahan itu telah dilaporkan ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi uang ganti rugi lahan oleh Kementerian PUPR.

Selain karena diduga uang ganti rugi ditilap, juga karena adanya bukti rekayasa amar putusan oleh orang dalam Biro Hukum Kementerian PU PR yang ditemukan ahli waris, yakni tentang putusan MA bernomor 266/PK/Pdt/2013.

Temuan dugaan rekayasa putusan itu berdasarkan surat yang dibuat Kementerian PUPR ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA) nomor HK.04.03-Mn/718 perihal permohonan penerbitan fatwa Mahkamah Agung sebagai penjelasan terhadap putusan perkara pengadaan lahan Tol Reformasi atas nama Intje Koemala.

Pada poin b surat tersebut disebutkan, putusan MA nomor 266/PK/Pdt/2013 dimenangkan Ince Baharuddin dan ditandatangani Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.

Sementara dalam putusan asli pada perkara pada nomor yang sama, di mana Ince Baharuddin melawan Syamsuddin Sammy selaku ahli Waris Intje Koemala disebutkan dalam halaman 12 putusan nomor 266/PK/Pdt/2013 tersebut ditegaskan, mengadili dan menolak PK yang diajukan oleh Ince Baharuddin dan Ince Rahmawati selaku pemohon PK. Surat keputusan ini ditandatangani pihak MA melalui Panitera Muda Perdata Dr Pri Pamudi teguh.

Putusan lainnya yang memenangkan ahli waris pemilik lahan Intje Koemala, yakni pada putusan PK bernomor 117/PK/Pdt/2009 tertanggal 24 November 2010. Dalam perkara itu, ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya melawan Kementerian PU-PR.

Aksi penguasaan lahan oleh ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya tersebut terkait dengan belum dibayarkannya sisa ganti rugi lahan seluas 48.222 meter persegi, dan lahan yang belum sama sekali dibayarkan seluas 22.134 meter persegi. Dengan demikian, total lahan yang belum dibayar Kementerian PUPR adalah tujuh hektare lebih.

Sisa pembayaran itu senilai Rp 9,24 miliar lebih. Sementara, yang sudah dibayarkan pada 1998, yakni sepertiga lahan seluas dua hektare lebih senilai Rp 2,5 miliar.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya