Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dilaporkan menelepon Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Senin 17 April waktu Washington untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya dalam referendum bersejarah.
Kabar ini pertama kali dimuat oleh media pemerintah Turki, satu hari setelah Presiden Erdogan memenangkan lebih dari 51 persen suara dalam referendum yang berlangsung Minggu waktu setempat.
Advertisement
"Trump menelepon Erdogan malam ini (Senin) dan mengucapkan selamat atas kesuksesannya dalam referendum," ujar sumber di lingkaran Presiden Erdogan seperti dikutip dari kantor berita Anadolu dan dilansir Telegraph, Selasa, (18/4/2017).
Reaksi Trump tersebut kontras dengan yang ditunjukkan oleh para pemimpin Eropa menyusul tipisnya selisih hasil penghitungan suara. Sementara itu tim pemantau internasional menyatakan keprihatinan mereka atas kecurangan yang terjadi.
Gedung Putih dalam pernyataan yang dirilis Senin waktu setempat mengatakan, Trump dan Erdogan membahas berbagai topik selain referendum.
"Presiden Donald Trump berbicara dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan hari ini untuk memberikan ucapan selamat atas kemenangannya dalam referendum dan mendiskusikan aksi AS ke Suriah sebagai balasan serangan kimia yang dilancarkan rezim Assad pada 4 April lalu," sebut pihak Gedung Putih.
"Presiden Trump berterima kasih kepada Presiden Erdogan karena mendukung keputusan AS dan kedua pemimpin sepakat tentang pentingnya Presiden Suriah Bashar al-Assad bertanggung jawab."
"Presiden Trump dan Presiden Erdogan juga membahas kampanye kontra-ISIS dan kebutuhan untuk bekerja sama melawan seluruh kelompok yang menggunakan terorisme demi mencapai tujuan mereka," tambah pihak Gedung Putih dalam pernyataannya.
Otoritas Turki mengatakan, hasil awal referendum menunjukkan 51,4 persen rakyat Turki mendukung perbaikan terbesar politik Turki sejak berdirinya republik modern. Referendum akan mengubah konstitusi Turki dari sistem parlementer ke presidensial yang berarti pula memberikan kekuasaan lebih luas kepada Presiden Erdogan.
Sementara itu, tim pengamat Uni Eropa mengatakan, referendum dilaksanakan secara tidak adil. Dukungan terhadap kubu "Yes" diikuti dengan penangkapan wartawan dan pembungkaman media.
"Secara umum, referendum tidak sesuai standar Dewan Eropa. Kerangka hukum tidak memadai untuk menyelenggarakan sebuah proses yang benar-benar demokratis," ujar Cezar Florin Preda, kepala delegasi dari tim pengamat Uni Eropa.
Erdogan sendiri bereaksi marah dengan kritikan tersebut dan mengatakan agar para pemantau "menyadari posisi mereka". Ia tegaskan, Turki tidak akan mempedulikan komentar tersebut.
"Negara ini mengadakan jajak pendapat paling demokratis yang tidak pernah dilihat di negara Barat mana pun," tegas Erdogan.
Referendum akan membuat presiden lebih berkuasa di ia akan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden memiliki keleluasaan untuk menunjuk hakim dan pejabat tinggi lainnya, membubarkan parlemen, mengumumkan status darurat, dan mengeluarkan dekrit. Perubahan-perubahan tersebut akan mulai berlaku pada masa jabatan presiden tahun 2019.