Liputan6.com, Sumenep - Gili Labak salah satu pulau terkecil di antara 127 pulau lain di Kabupaten Sumenep, Madura. Secara administratif, Gili Labak masuk wilayah Kecamatan Pulau Talango meski secara geografis letaknya lebih dekat dengan Pulau Gili Genting.
Masuknya Gili Labak ke wilayah Talango karena orang pertama yang menempati Gili Labak adalah satu keluarga asal Talango. Jumlah penduduknya hanya 35 kepala keluarga, tapi kini menyusut jadi 25 KK karena banyak yang merantau.
Luas Gili Labak tak lebih dari 5 hektare. Pulau ini bisa dikelilingi dengan berjalan kaki dalam waktu tak sampai setengah jam.
Perairan Gili Labak sangat jernih. Dari jarak setengah mil, bebatuan di dasar terlihat jelas dengan mata telanjang. Tampak pula setumpuk sampah plastik mengambang, tapi tak banyak.
Karena tak ada dermaga, kapal-kapal yang mengangkut wisatawan sandar di tepi pantai. Penumpang diturunkan pakai tangga kayu dari anjungan.
Aktivitas pertama pengunjung setelah sampai di Gili Labak adalah selfie. Kapal yang sandar di tepi pantai menghalani pemandangan ke laut lepas.
Ada tiga warung di Gili Labak, di depan tiap warung berdiri bale-bale atap rumbia. Ada juga wc umum, bisa mandi, buang air kecil dan BAB. Ada juga langgar sederhana buat salat.
Baca Juga
Advertisement
"Kalau cuma snorkeling, diving, tak perlu jauh-jauh ke Bali, kami juga punya tempat yang cantik buat menyelam, namanya Gili Labak," kata Wakil Bupati Sumenep Achmat Fauzi, saat mengajak jurnalis makan malam di komplek Keraton Sumenep, Rabu, 12 April 2017.
Kala itu, 40 jurnalis dari berbagai daerah seperti Surabaya, Gresik, Bojonegoro hingga Semarang mengikuti lokakarya media yang digelar SKK Migas Jabanusa dan sejumlah perusahaan migas atau KKKS.
Pemkab Sumenep yang sedang gencar mempromosikan program Visit Sumenep 2018 sekalian mengajak para jurnalis berkunjung gratis ke Pulau Gili Labak pada hari terakhir lokakarya.
Ada dua cara mencapai Gili Labak. Pertama lewat Pelabuhan Kalianget, letaknya sekitar 5 kilometer ujung timur Kota Sumenep. Kedua lewat Pelabuhan Tanjung di Kecamatan Saronggi, jalur ini yang dipakai rombongan jurnalis.
Pelabuhan Tanjung terletak 2 kilometer sebelum Kota Sumenep. Rute paling gampang menuju Desa Tanjung lewat pertigaan Pasar Saronggi. Bila dari arah Surabaya kendaraan belok ke kanan.
Tanjung sendiri merupakan kampung pesisir, profesi mayoritas warganya nelayan dan petani rumput laut. Sepanjang jalan banyak menjumpai nelayan jemur rumput laut di pinggir jalan.
Pada Juli 2012, desa ini dilanda bentrok. Sekelompok warga menyerang dan merusak fasilitas pengeboran gas on shore milik PT Energi Mineral Langgeng. Lokasi pengeboran sekitar 500 meter setelah Pelabuhan Tanjung.
Umar, salah nakhoda kapal yang membawa rombongan wartawan menjelaskan berlayar ke Gili Labak lewat Tanjung lebih hemat waktu dibanding lewat Kalianget.
Bila cuaca normal, rute Tanjung-Gili Labak paling cepat ditempuh 1,5 jam. Adapun rute Kalianget-Gili Labak memakan waktu rata-rata 2,5 jam. "Beda satu jam," kata dia.
Karena lebih cepat, biaya sewa kapal pun lebih mahal, perbedaannya bisa hingga 50 persen. Biaya sewa tidak dihitung berdasarkan jarak tempuh. biaya sewa bergantung berat bobot kapal.
Untuk kapal dengan berat 10 ton seperti miliknya, biaya sewa berkisar antara Rp 800 ribu hingga 1 juta. Sementara kapal berbobot 15 ton, biaya sewanya antara Rp 1 hingga 1,5 juta. Satu kapal bisa menampung hingga 60 orang.
Adapun ke Gili Labak dari Kalianget, biaya sewa jauh lebih murah, di kisaran Rp 500 ribu sekali berangkat. Bobot kapal di Kalianget lebih kecil dibanding kapal nelayan Tanjung. Pemilik kapal juga menyediakan pelampung, namun disewakan seharga Rp 7 ribu per runit.
Kisah Miris di Balik Keindahan
Wahyuni (50), salah satu pemilik warung di Gili Labak, antusias melayani pesanan kelapa muda. "Meski di sini banyak pohon kelapa, kelapa muda ini beli dari Sumenep, pohon kelapa di sini sudah ndak berbuah, banyak yang rusak," tutur dia.
Bagi Wahyuni, keberadaan wisatawan sangat membantu perekonomian warga termasuk dirinya. Sebelum Gili Labak dikenal sebagai tempat wisata, Wahyuni hanyalah ibu rumah tangga biasa.
Selain merawat anak, ia biasa bantu suaminya mengangkut hasil tangkapan ikan sepulang melaut. Bila musim hujan tiba, dia memanfaatkan lahan kosong untuk bertani.
"Yang tumbuh cuma jagung dan singkong," kata dia.
Tiga tahun lalu, saat wisatawan mulai ramai, Wahyuni berhenti bertani. Ia coba peruntungan lain dengan membuka warung sederhana. Kondisi ekonomi keluarganya membaik, dia bisa punya tabungan bahkan anak perempuannya kini kuliah.
"Butuh perjuangan menyekolahkan anak," tutur dia.
Kondisi alam yang indah dan eksotis di Gili Labak, kontras dengan kehidupan warganya: kurang pekerjaan, banyak anak putus sekolah. Maklum, tak ada sekolah di sana. Bila hendak sekolah, anak-anak di Gili Labak harus ke Pulau Talango, naik perahu selama 1 jam.
Karena sekolah jauh, banyak warga menyerah, membiarkan anak-anaknya tak lulus Sekolah Dasar. Wahyuni merasakan betul susahnya menyekolahkan anak.
Karena lelah, dia akhirnya memutuskan bermukim sementara di Desa Poteran, Talango. Hidup numpang di rumah kerabat agar anaknya bisa sekolah seperti yang lain.
"Untungnya anak saya semangat sekolah, karena kemauannya keras, mau tidak mau saya ikut semangat," kata dia.
Tahun 1990-an, kata Wahyuni, pemerintah membangun SD di Gili Labak, tapi gurunya tidak kerasan, seminggu masuk satu kali, akhirnya tak pernah datang lagi. Lama-lama, bangunan sekolah rapuh dan akhirnya ambruk tinggal pondasi.
Hingga kini tak pernah ada sekolah lagi di Gili Labak. "Gurunya nggak kerasan karena nggak ada air tawar," kenang dia.
Untuk mendapat air bersih, warga Gili Labak biasanya mengirim jeriken ke kapal nelayan. Biayanya Rp 5 ribu per jeriken. Wahyuni misalnya beli air tawar sekali dalam sepekan. Sekali beli 30 jeriken.
"Banyak yang coba ngebor, tapi air yang keluar semua payau bahkan asin," kata Wahyuni.
Dia berharap, kemajuan ekonomi yang dirasakan warga Gili Labak sejak pulau itu dijadikan obyek wisata, juga dibarengi dengan peningkatan kebutuhan dasar warga Gili Labak yaitu pembukaan sekolah, layanan kesehatan, kemudahan akses terhadap air bersih hingga ketersediaan listrik.
"Listrik di sini hanya menyala malam hari, pakai diesel," kata Wahyuni.
Advertisement