Liputan6.com, Jakarta Film Kartini, akhirnya dirilis juga sejak Rabu (19/4/2017). Film yang bercerita tentang masa kecil dan remaja pahlawan emansipasi wanita Tanah Air ini, memang cukup banyak menarik perhatian para pecinta film. Buktinya di hari perdana penayangannya, film yang disutradai Hanung Bramantyo ini telah menarik 57 ribu penonton.
Baca Juga
Advertisement
"Karena bagi kami, hanya dengan karya, negeri ini akan terus berdaulat dan mandiri. Terima kasih buat penonton yang sudah menonton dan menghargai karya kami," tulis Hanung Bramantyo dalam Instagram miliknya, Kamis (20/4/2017).
Tanggapan hangat terhadap film biopik tersebut, salah satunya dipicu oleh keseriusan terhadap proses pembuatan film Kartini. Bukan hanya dari segi artistik, namun juga dari departemen akting.
Tak heran bila banyak cerita menarik yang tertinggal dari lokasi syuting film Kartini. Apa saja? Liputan6.com merangkumnya untuk Anda:
Riset Sampai ke Belanda
Robert Ronny, produser Kartini, menyebutkan bahwa riset film ini dilakukan hingga ke Negeri Kincir Angin. "Kita ngirim tim riset (ke Belanda), di sana ada ahli-ahli Kartini yang bantu kita," ujarnya beberapa lalu.
Riset ini harus dilakukan karena pihaknya menilai sumber-sumber tentang Kartini di Indonesia masih terbilang kurang. "Terutama foto-foto. Di sana masih lengkap dan tersimpan rapi," ujarnya menambahkan.
Advertisement
Dipicu Pengalaman Traumatis Hanung Bramantyo
Siapa sangka, film Kartini ternyata dipicu oleh pengalaman memalukan sang sutradara, saat masih duduk di bangku sekolah.
Kejadiannya, adalah saat peringatan hari Kartini. Kala itu, ada sebuah tradisi di sekolahnya di setiap tanggal ini, yakni peragaan busana dengan mengenakan baju daerah.
"Kan biasa kalau Hari Kartini itu yang perempuan pakai kebaya, yang laki pakai blangkon khas daerah saya, Jogja, lalu pakai sorjan," kata Hanung Bramantyo.
Hanya saja, saat tiba giliran Hanung, ia malah mendapat kecelakaan memalukan. Ia, keserimpet dan jatuh. "Wah itu habis saya disorakin. Tiap Hari Kartini saya ingat itu," kata Hanung sambil tersenyum.
Kejadian ini lantas membuatnya penasaran, tentang tradisi di hari Kartini, dan sosok pahlawan wanita tersebut. Ia lantas membaca banyak literatur tentang wanita kelahiran Jepara, 1879 silam ini, yang berujung pada ketertarikannya membuat film ini.
Dian Sastro Jalan Jongkok
Demi memerankan tokoh Kartini, Dian Sastrowardoyo tak hanya mempelajari segala aspek dari tokoh ini secara sungguh-sungguh. Ia juga mencoba menghayati kondisi yang dirasakan para perempuan bangsawan Jawa masa itu. Salah satunya adalah penggunaan bahasa Jawa halus dan bahasa Belanda.
"Saya belajar dari nol. Belajar bahasa Jawa dengan baik dan benar, bahasa Indonesia dengan logat Jawa, bahasa Belanda juga," kata Dian Sastro.
Tak hanya itu, ia juga harus membiasakan diri melakukan laku dodhok atau berjalan dalam posisi jongkok. Ternyata, hal ini menjadi salah satu hiburan tersendiri bagi Hanung Bramantyo.
"Pengalaman menarik itu lihat Dian Sastro jalan jongkok, itu luar biasa," katanya sambil tertawa.
Advertisement
Denny Sumargo Mendadak Jadi Wong Jowo
Tak hanya Dian Sastrowardoyo, Denny Sumargo pun harus jungkir balik untuk mendalami karakter yang ia perankan, Raden Mas Slamet Sosroningrat. Apalagi, Denny adalah pemain yang bergabung paling terakhir dalam film ini. Ia pun hanya punya waktu seminggu untuk mempelajari bahasa Jawa.
"Tenang saya pebasket. Latihan pagi, siang, sore, malem, enggak tidur-tidur," kata Denny.
Tak hanya itu, Denny juga mesti memutar otak bagaimana cara mendalami karakter yang ia perankan. Pasalnya, sedikit sekali referensi mengenai Raden Mas Slamet yang tersedia. Jadi ia menyempatkan diri untuk menggali informasi dengan keturunan dari keluarga RA Kartini, juga mempelajari mimik wajah Raden Mas Slamet lewat fotonya.
"Aku sempat mikir bahwa karakter Raden Mas Slamet ini karakter yang keras dan jahat, antagonis. Ternyata itu berbeda dengan sejarahnya. Sebenarnya Raden Mas Slamet itu lembut di dalam tapi keras di luar," kata Denny.
Sulitnya Mencari Rumah Kartini
Salah satu kesulitan Hanung Bramantyo dan produser film Kartini dalam pembuatan film ini, adalah mengenai lokasi syuting. Idealnya, film ini memang dibuat di lokasi otentik tempat tinggal keluarga Kartini di Jepara.
Masalahnya, rumah Kartini ternyata sudah dirombak total, jauh dari kondisi aslinya. Bila berkeras menggunakan lokasi asli, justru tidak akan sesuai dengan setting waktu di film Kartini.
Akhirnya, pihaknya memutuskan untuk meriset arsitektur pendopo dan interior masa itu, dan membangunnya kembali di Jakarta dan Yogyakarta. "Interiornya di sebuah studio di Jakarta, eksteriornya di Jogja," kata Hanung.
Ia juga memberikan kritik pada para pejabat daerah yang wilayahnya memiliki kekayaan cagar budaya. "Bilang sama bupati-bupati, kalo punya situs itu dipelihara, jangan dirusak karena saya enggak bisa mempergunakan situs itu," katanya setengah canda.
Advertisement
Masukan dari Para Wanita untuk Hanung Bramantyo
Ternyata ada satu hal yang sedikit mengganjal di hati Hanung Bramantyo saat membuat film Kartini. Pasalnya, ini adalah film yang mengisahkan tentang perjuangan pahlawan wanita, namun malah disutradarai oleh seorang pria.
Untuk itu, ia mencoba membuka dialog dan memberi ruang bagi para aktris dalam film ini, untuk menyuarakan aspirasinya. "Misalnya kalau Acha bilang dia merasa adegan ini lebih baik tidak menangis karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, adegan itu bisa diubah," katanya.