Liputan6.com, Jakarta Orang yang terbiasa mengonsumsi minuman diet lebih besar kemungkinannya mengidap stroke dan demensia, dibanding meminum minuman tinggi gula hampir setiap hari.
Pernyataan ini disampaikan para ilmuwan dari Boston University setelah melakukan sebuah penelitian dengan melibatkan 4.400 orang dewasa di London, Inggris.
Mereka juga menyimpulkan, tak ada hubungan antara minuman bergula dengan salah satu penyakit meski sejumlah pakar mendorong agar kita tidak terlalu sering meminum minuman tinggi gula tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Minuman diet yang mereka maksud adalah minuman yang melabelin dirinya rendah gula tapi ternyata menggunakan pemanis buatan.
Mereka percaya bahwa pemanis bautan termasuk aspartam dan sakarin mungkin memegnaruhi pembuluh darah, yang akhirnya memicu stroke dan demensi.
Penelitian yang mereka lakukan ini atas dasar lakunya minuman diet di pasaran, sekaligus menyadarkan masyarakat bahwa minuman diet tidak sesehat yang dipikirkan.
Awal Januari 2017 para peneliti dari Imperial College London melakukan sebuah riset, dan hasilnya minuman diet tidak 100 persen membantu orang-orang menurunkan berat badan.
Sebuah hasil yang dipublikasikan ke dalam jurnal American Heart Association Stroke menemukan orang-orang yang minum minuma diet sehari 2,9 kali lebih mungkin mengalami demensia bahkan 3 kali lebih mungkin menderita karena stroke.
"Kami masih memerlukan penelitian lebih lanjut, dengan melihat seberapa sering seseorang minum minuman beraroma artifisial," kata Pakar dari Departermen Neurologi di Boston University School of Medicine, Matthew Pase, dikutip dari situs Daily Mail, Jumat (21/4/2017)
Sementara waktu, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengimbau semua orang agar lebih rajin minum air putih, bukan minuman manis apalagi minuman diet yang ternyata terbuat dari gula buatan.
"Membatasi gula tambahan merupakan cara guna mendukung gizi dan berat badan yang seimbang. Orang harus hati-hati meminum minuman yang tinggi gula buatan," kata Ketua Komite Nutrisi Asosiasi Jantung Amerika dan Profesor Gizi di University of Vermont, Rachel Johnson, menambahkan.