Liputan6.com, Depok - Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi memiliki sejarah perjalanan panjang sebelum dikenal dunia. Perjalanan hidupnya tertuang dalam buku berjudul '70 Tahun Hasyim Muzadi, Berkah Pedagang Roti' yang dibedah tepat pada peringatan 40 hari wafatnya KH Hasyim Muzadi.
Advertisement
Menantu Kiai Hasyim Muzadi, Arif Zamhari mengatakan, buku itu menjelaskan perjalanan karir sang kiai yang ditulis dalam lima bagian. Bagian pertama mengisahkan tentang kehidupan Hasyim kecil yang tumbuh dari keluarga biasa.
Ahmad Hasyim lahir di Bangilan, Tuban, Jawa Timur pada 8 Agustus 1944. Ayahnya bernama Muzadi merupakan pedagang tembakau, dan ibunya bernama Rumyati seorang penjual roti dan kue kering.
Di usia 12 tahun, bisnis sang ayah yang sempat sukses mulai menurun. Keluarga Hasyim memasuki masa sulit. Sehingga ekonomi keluarga harus ditopang bisnis sang ibu yakni berjualan roti dan kue kering. Hasyim muda ikut membantu perekonomian keluarga.
"Saat itu, Pak Kiai harus mengayuh sepeda ontel sejauh 50 kilometer untuk mengambil bahan dan alat pembuat roti. Karena saat itu belum ada kendaraan umum," ujar Arif di sela acara peringatan 40 Hari Wafatnya KH Hasyim Muzadi, Ponpes Al-Hikam, Depok, Jawa Barat, Minggu (23/4/2017).
Selain itu, Hasyim muda juga memiliki tugas keliling kampung untuk membeli telur ayam sebagai bahan roti dari rumah warga. "Kebiasaan itu membuat beliau hafal jadwal ayam tetangganya bertelur," tutur dia.
Tugas membantu ibunya berjualan roti ia jalani hingga usai mondok di Pesantren Gontor. Mengalami masa perekonomian sulit tak menyurutkan semangat Hasyim Muzadi menimba ilmu. Dengan kesulitan yang dihadapi, justru Hasyim menjadi santri berprestasi dan matang menghadapi hidup.
"Pak Kiai tak pernah mengeluh. Jarang bercerita mengenai masalah yang dihadapi. Ketika di Gontor, beliau kehabisan bekal dan uang kiriman telat. Untuk menyiasati, beliau menjual bajunya untuk bertahan hidup," cerita Arif.
Catat Sejarah di PBNU
Usai nyantri di Gontor dan Senori, Lasem, Jawa Tengah, Hasyim muda berkelana ke Malang, Jawa Timur. Di situ ia menjalani babak barunya sebagai aktivis. Dia memiliki talenta berorganisasi dan kecintaan yang begitu besar terhadap Nahdlatul Ulama (NU).
Di Kota Apel itu, kemampuan berorganisasi Hasyim ditempa dan diasah dengan baik. Ia aktif di semua level organisasi NU, baik di PMII, Ansor, menjadi Ketua NU tingkat Ranting, Cabang, hingga menjadi anggota DPRD Malang. Karirnya di NU terus meroket hingga menjabat sebagai Ketua Umum PBNU periode 1999-2009.
"Oleh sebagian kalangan, Kiai Hasyim dianggap satu-satunya tokoh NU yang pernah menjadi pemimpin NU mulai tingkat ranting sampai menjadi pucuk pimpinan PBNU," kata Arif.
Jabatan Hasyim sebagai Ketua Umum PBNU sempat mendapat penolakan dari sang kakak, KH Muchit Muzadi. Sang kakak kurang setuju lantaran Hasyim bukan tokoh yang punya garis keturunan kiai, apalagi pimpinan pesantren.
Namun dukungan dari sejumlah ulama dan warga Nahdliyin terus menguat hingga jelang pemilihan. Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri itu pun menorehkan sejarah baru, anak tukang roti menjadi Ketua Umum PBNU.
Tugas berat menanti Kiai Hasyim sebagai Ketua Umum PBNU. Banyak persoalan di depan mata, salah satunya merekatkan kembali warga NU yang sempat terkotak-kotak akibat euforia reformasi dan pemilu multi partai.
Namun di tengah upaya itu, muncul masalah baru. Warga NU marah setelah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dilengserkan dari jabatan Presiden RI oleh lawan-lawan politiknya. Peristiwa itu jelas melukai warga NU dan membuat gairah perjuangannya menurun.
Saat itulah Kiai Hasyim semakin aktif turun ke bawah membangun konsolidasi dan bertemu langsung dengan warga NU. Tak hanya itu, Kiai Hasyim juga berupaya mendekatkan NU dengan semua kalangan, termasuk kelompok yang ikut menggulingkan Gus Dur.
Go Internasional
Berbeda dengan pemimpin NU sebelumnya yang masih berorientasi pada penguatan jam'iyah dan persoalan Nasional. NU zaman Kiai Hasyim membuka diri untuk berkontribusi pada persoalan dunia internasional, seperti penanggulangan terorisme, resolusi konflik, isu lingkungan, dan perdamaian.
Kiai Hasyim memperluasnya jaringan internasional dengan membuka Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di sejumlah negara, seperti Australia, Inggris, Jepang, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dan beberapa negara Timur Tengah.
Setelah PCI berdiri, Kiai Hasyim bersama Menteri Luar Negeri kala itu, Nur Hassan Wirajuda mendirikan International Confernce of Islamic Scholars (ICIS) pada Februari 2004. Itu dilakukan untuk menguatkan pemikiran moderat Islam dengan slogan 'Islam Rahmatan Lil Alamin'.
"Surat rekomendasi berdirinya ICIS ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri," kata Arif.
Ada tiga alasan yang mendorong Kiai Hasyim mendirikan ICIS. Pertama, momentum perubahan hubungan politik dan suhu ketegangan antara Islam dengan Barat setelah tragedi serangan terorisme 11 September 2001 atau 9/11 di Amerika Serikat.
Kedua, kampanye Amerika melawan terorisme yang secara langsung berimbas pada posisi hubungan antara Barat dengan dunia Islam. "Ketiga, keberadaan ICIS juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan nilai-nilai Pancasila ke dunia," tutur dia.
Kini, ICIS sudah menjadu lembaga internasional yang terdaftar di Organisasi Konferensi Islam (OKI), Liga Muslim Dunia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Buku biografi perjalanan hidup KH Hasyim Muzadi ini ditulis oleh wartawan senior Ahmad Millah Hasan sejak 2004 hingga 2014. Seharusnya buku tersebut diluncurkan pada 2014 lalu atau bertepatan dengan ulang tahun ke-70 sang kiai.
Namun Kiai Hasyim menolak buku tersebut diterbitkan saat dia masih hidup. Sang penulis yang masih berusia relatif muda justru meninggal dunia terlebih dulu, pada Sabtu 9 April 2016.
Saat dibedah di acara 40 hari wafatnya KH Hasyim Muzadi, buku biografi ini bahkan belum dicetak resmi.