8 Upaya Politikus Senayan yang Berpotensi Lemahkan KPK

Setidaknya ada 8 upaya wakil rakyat di Senayan, DPR guna membuat KPK tidak berdaya.

oleh Djibril Muhammad diperbarui 25 Apr 2017, 07:22 WIB
Ilustrasi KPK

Liputan6.com, Jakarta - Serangan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti tidak pernah padam. Setiap tahun selalu ada upaya-upaya melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Merujuk dokumentasi Indonesia Corruption Watch (ICW), yang diterima Liputan6.com, Senin (25/4/2017), setidaknya ada 8 upaya wakil rakyat di Senayan, DPR guna membuat KPK tidak berdaya, yakni:

1. Wacana Pembubaran KPK

Sejumlah anggota DPR pernah mewacanakan atau memberikan pernyataan tentang pembubaran KPK. Salah satunya yang dinilai paling bersemangat adalah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.  

Fahri Hamzah yang ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III, mengusung wacana pembubaran KPK. Alasannya, dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi tidak boleh ada lembaga yang sangat kuat alias superbody. Karena itu, ia menegaskan, KPK berpotensi tak bisa diawasi.

Hal itu terungkap dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi dengan Polri, Kejaksaan Agung dan KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 3 Oktober 2011.

2. Wacana KPK Lembaga Adhoc

Masih di tahun yang sama, Marzuki Alie yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR pernah menyebutkan KPK sebagai lembaga ad hoc atau  bersifat sementara.

Wacana KPK sebagai lembaga ad hoc juga muncul dalam Revisi UU KPK pada 2016. Dalam revisi tersebut, disebutkan KPK berusia hingga 12 tahun mendatang.  


3. Tolak Anggaran KPK

Ilustrasi KPK (AFP Photo)

Politikus Senayan juga pernah menolak sejumlah usulan anggaran yang diajukan KPK. Padahal anggaran yang diusulkan dimaksudkan untuk optimalisasi upaya pemberantasan korupsi.

Pada 2008, misalnya, DPR menolak anggaran sebesar Rp 90 Miliar untuk pembangunan rumah tahanan yang akan dikelola KPK. Pada 2012, usulan dana sebesar Rp 250 miliar untuk pembangunan gedung baru KPK juga ditolak. Karena penolakan dari anggota dewan, muncul gerakan publik, "Koin untuk KPK" atau "Saweran untuk gedung KPK."

4. Lemahkan KPK Via Legislasi

Sejak 2011 sejumlah partai politik (parpol) di DPR berulang kali berupaya melakukan Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Revisi UU KPK). Terakhir rencana Revisi UU KPK pada 2016, gagal karena ada penolakan dari berbagai kalangan.

Substansi Revisi UU KPK dinilai melemahkan KPK. Selain Revisi UU KPK, upaya pelemahan terhadap KPK juga coba dilakukan melalui pembahasan Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R KUHP) dan Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R KUHAP).  

5. Dugaan Intervensi Kasus di KPK

Pada 2011, Wakil Ketua KPK saat itu, Mochammad Jasin buka-bukaan terkait adanya dugaan intervensi anggota DPR terhadap para pimpinan saat sejumlah kasus korupsi. Dia mengungkapkan, intervensi tersebut lewat sambungan telepon atau dalam pembahasan saat rapat dengar pendapat (RDP) DPR.

Pada 2012, sejumlah Anggota Komisi III mencoba mengintervensi untuk menggagalkan pemindahan persidangan Wali Kota Semarang Soemarmo dari Pengadilan Tipikor Semarang ke Pengadilan Tipikor Jakarta.

Pimpinan MA mengaku diminta Komisi III DPR untuk membatalkan surat keputusan pemindahan sidang Wali Kota Semarang nonaktif, Soemarmo HS. Namun, Ketua MA Hatta Ali bersikukuh menolak merevisi SK tersebut.

Pada 2016, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berupaya menghalangi penggeledahan yang dilakukan KPK di Ruang Fraksi PKS di DPR. Meski sempat terjadi perdebatan, proses pengeledahan akhirnya tetap dilaksanakan.

Peristiwa tersebut, pada Jumat 15 Januari 2016 saat penyidik KPK yang didampingi Brimob bersenjata lengkap akan menggeledah ruang Fraksi PKS di DPR. Fahri mempersoalkan rombongan penyidik KPK yang membawa anggota Brimob bersenjata laras panjang‎.


6. Tolak Calon Pimpinan KPK

Ilustrasi KPK (AFP Photo)

Pada 2011 dan 2015, DPR pernah berupaya menolak calon pimpinan KPK yang diusulkan Pemerintah. Pada 2011, 5 dari 9 Fraksi di DPR menolak 8 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan pemerintah, dalam rapat Komisi Hukum DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar.

Ke-5 fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, PDI Perjuangan, Hanura, Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera. Kelima fraksi itu tetap meminta pemerintah menyerahkan sepuluh nama calon pimpinan KPK ke DPR.

Pada 2015, sempat muncul wacana penolakan terhadap calon pimpinan KPK yang diusulkan pemerintah meskipun akhirnya kemudian dibatalkan dan proses pemilihan tetap berlangsung. Selain penolakan pada 2014, DPR juga pernah menunda proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan KPK Busyro Muqodas dan Robby Arya Brata.  

7. Pengajuan Nota Keberatan Pencegahan Setya Novanto

Pada April 2017, KPK mengeluarkan surat pencegahan terhadap Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus korupsi e-KTP. Pencegahan terhadap Setya keluar negeri selama 6 bulan karena politikus Partai Golkar tersebut merupakan saksi kunci Andi Narogong.

Setelah Setya Novanto dicegah, Pimpinan DPR melaksanakan rapat dengan Badan Musyawarah DPR, dan DPR akhirnya mengirimkan nota keberatan kepada Jokowi.

Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo mengatakan DPR batal mengirim surat atau nota keberatan terkait pencegahan Ketua DPR Setya Novanto kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ditjen Imigrasi mencegah Setya Novanto ke luar ngeri atas permintaan KPK.

"Pada akhirnya DPR tidak jadi mengirim surat," kata pria yang akrab disapa Bamseot ini di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 17 April 2017.

8. Pengajuan Hak Angket DPR

Pada April 2017, Komisi III DPR berupaya mengajukan hak angket terhadap KPK agar membuka rekaman pemeriksaan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam, dalam kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Sedikitnya sudah ada 7 fraksi yang menyatakan setuju digulirkannya Hak Angket ini.

Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, hak angket yang akan diusulkan pihaknya bukan semata karena soal Miryam, meskipun menjadi salah satunya.

"Bukan hanya itu yang menjadi (landasan), di Komisi III itu ada beberapa hal lain. Salah satunya adalah terkait dengan laporan hasil pemeriksaan (LHP) kepatuhan tahun 2015 yang dilakukan BPK terhadap KPK," kata Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 20 April 2017.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya