Liputan6.com, Beijing - Pemerintah China di Wilayah Otonom Xinjiang Uighur bagian barat laut melarang sejumlah bayi yang baru lahir untuk diberi nama dengan pemaknaan agama dan kepercayaan tertentu.
Sejumlah nama seperti Islam, Quran, Mecca, Jihad, Imam, Saddam, Hajj, Medina, dan lain-lain, dilarang untuk diberikan kepada bayi yang baru lahir. Larangan itu diisukan oleh pemerintah China sebagai strategi untuk menekan pertumbuhan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang mengatasnamakan Islam di wilayah Xinjiang Uighur.
Advertisement
Menurut laporan Radio Free Asia (RFA) seperti yang diwartakan oleh Asian Correspondent, Rabu (26/4/2017), larangan tersebut dikonfirmasi oleh salah satu petugas kepolisian di Urumqi, ibukota Xinjiang Uighur.
Sang petugas polisi yang menjadi informan RFA menjelaskan bahwa bayi yang diberi nama 'terlampau religius' tidak diizinkan untuk terdaftar dalam sistem pencatatan kesehatan dan pendidikan pemerintah, atau biasa disebut dengan sistem 'hukou/huji'.
"Ada larangan untuk pemberian nama dengan nuansa agamais yang kuat, seperti Jihad, dll...Hal yang penting adalah mengenai konotasi dan konteks namanya...tidak boleh memberikan nama dengan konotasi dan konteks yang berkaitan dengan perang suci keagamaan atau separatisme (tentang kemerdekaan Xinjiang)," ujar salah satu petugas polisi di Urumi, Xinjiang Uighur, seperti yang dikutip Asian Correspondent.
Petugas polisi itu juga menjelaskan bahwa penduduk dianjurkan patuh terhadap peraturan partai.
"Taati saja peraturannya, maka kau akan baik-baik saja...jika kau memiliki nama yang dilarang oleh ketentuan, kau justru tak akan tercatat dalam hukou...jika sudah terlanjur, para orang tua disarankan untuk menggantinya...nama-nama seperti itu dianggap mempromosikan teror," tambah sang petugas polisi.
Sejumlah nama yang diizinkan adalah nama yang memiliki pemaknaan netral dan sesuai dengan peraturan pemerintah.
Pada awal April 2017, pemerintah China di Wilayah Otonom Xinjiang Uighur juga sempat mengisukan sejulam larangan yang berkaitan dengan etnis Uighur.
Larangan tersebut antara lain, melarang mengadvokasikan pemikiran ekstremis, melarang menggunakan atau memaksa orang lain menggunakan penutup wajah/cadar, melarang mempromosikan fanatisme agama melalui penggunaan janggut di tempat umum, mewajibkan ikut dalam kebijakan 'hukou/huji', melarang untuk mengakses informasi ekstremis dalam berbagai bentuk, dan wajib menggunakan produk dalam negeri.
Sejumlah pakar menilai bahwa kebijakan ini menambah sejumlah daftar represi kultural pemerintah dan Partai Komunis China terhadap etnis Uighur.
"Pemerintah China kembali melakukan represi yang diselubungi kulit lain, kali ini pada isu nama...kini mereka (Uighur) takut nama mereka menjadi aspek yang mengalienasi," kata juru bicara World Uighur Congress Group Dilxat Raxit seperti yang dikutip oleh Asian Correspondent.
Namun, pemerintah menjelaskan bahwa tindakan itu dianggap perlu untuk menekan radikalisme dan ekstremisme atas nama agama yang dapat berpotensi pada terorisme.
Pemerintah Negeri Tirai Bambu beranggapan bahwa serangan yang terjadi pada tahun 2013 dan 2014 lalu dilatarbelakangi oleh sayap ISIS yang bernama East Turkestan Islamic Movement yang memiliki embrio di Xinjiang.
Tak hanya itu, RRC juga yakin bahwa beberapa etnis Uighur di Xinjiang menyeberang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.
Pemerintah, media Barat, dan oposisi Presiden Xi Jinping beranggapan bahwa kebijakan China terhadap etnis Uighur di Provinsi Xinjiang bersifat diskriminatif.
Mereka menilai bahwa ada usaha sistematis yang dilakukan Negeri Tirai Bambu untuk menekan budaya, gaya hidup, dan kepercayaan etnis Uighur.
"Kebijakan kami (Tiongkok) terhadap etnis Uighur didasari atas fakta," ujar Menteri Luar Negeri Tiongkok Lu Kang dalam menangkis tudingan tersebut, seperti yang dikutip CNN, 3 April 2017.