Liputan6.com, Semarang - Jam digital menunjukkan angka 05.28 pada Jumat (28/4/2017) pagi, tapi di depan ruangan Heamodialisa Rumah Sakit Umum Wongsonegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, sudah ramai antrean pasien. Mereka rata-rata berada di kursi roda, ditemani anggota keluarganya. Mereka adalah pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis.
Sambil menunggu antrean, para pasien dan keluarganya berbagi cerita mengenai kondisi pasien masing-masing. Termasuk di antaranya solusi jika ada permasalahan di rumah. Namun, riuhnya obrolan itu mendadak berhenti setelah sebuah suara mengumumkan salah satu dari para pasien rutin itu meninggal dunia.
"Iya, dibandingkan yang lain, Pak Suntono itu tergolong paling bugar. Tapi begitulah. Kematian itu rahasia. Upaya kita selain medis adalah dukungan keluarga," kata salah satu dari keluarga pasien gagal ginjal itu.
Gagal ginjal saat ini masih menjadi hal yang menakutkan. Fungsi ginjal yang menurun atau malah berhenti sama sekali itu sampai sekarang baru bisa ditangani dengan haemodialisa atau cuci darah. Ginjal yang berfungsi menyaring racun dan mengeluarkannya itu diganti perannya oleh mesin dan tabung dialiser.
Baca Juga
Advertisement
Agar harapan hidup para pasien yang harus menjalani cuci darah selamanya itu semakin panjang, Ikatan Perawat Dialisa Indonesia (IPDI) terus berupaya meningkatkan pengetahuannya.
Menurut Kepala Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat DPP IPDI, Imam Hadi, pihaknya mendorong para perawat dialisa agar terus meningkatkan kualitas layanan.
"Kami secara rutin menggelar workshop dan lokakarya keperawatan. Tujuannya meningkatkan kualitas layanan sehingga memperpanjang harapan hidup pasien," kata Imam di RSUD Wongsonegoro Kota Semarang kepada Liputan6.com.
Imam menjelaskan, temuan terbaru dalam memperpanjang harapan hidup pasien adalah langkah yang diistilahkan GST (Group Support Therapy). Langkah ini bukan suatu tindakan medis standar, tapi mengedepankan pendekatan psikologis pasien dari keluarga maupun lingkungan.
"Dalam lokakarya Minggu (23 April 2017) di Magelang, dokter Bambang Jarwoto SP.PD-KGH sepakat dengan langkah ini. Yang perlu dan penting dilakukan adalah adanya dukungan keluarga dalam merawat pasien, jika itu dilakukan pasien akan semangat," kata Imam.
GST itu sudah dilakukan lebih luas di RSUD Wongsonegoro Kota Semarang. Tujuannya membentuk keluarga baru yang saling dukung. Keluarga baru itu terdiri dari dokter, perawat, pasien, dan keluarga pasien.
Imam kemudian menunjukkan hubungan keluarga baru itu yang antarpasien saling menyemangati. Demikian pula pasien dengan keluarga pasien lainnya, dokter, perawat, bahkan cleaning service dan teknisi mesin yang bertugas. Mereka diposisikan sederajat dalam hubungan sosial.
"Jika ada salah satu pasien yang drop semangatnya, yang lain akan memberi semangat. Seperti salah satu pasien kita yang sebatang kara, ketika opname dan tak ada yang mengurusi, kami semua dari dokter, perawat, administrasi, keluarga pasien lain justru ikut merawat seperti keluarga sendiri," kata Imam.
Metode itulah yang kemudian dirumuskan oleh dr Bambang Jarwoto lebih sistematis. Frekuensi pertemuan keluarga baru yang dua kali seminggu itu, secara psikologis mampu menumbuhkan ikatan internal. Serupa jaring laba-laba, jika ada satu titik tersentuh, yang lain akan ikut bergerak.
Ketika para pasien gagal ginjal masih menunggu selesainya cuci darah, mereka mengisi waktu dengan saling berbincang dan merencanakan takziah di rumah Pak Suntono yang meninggal. Tanpa aba-aba, para pasien ataupun keluarganya itu spontan membuka dompet dan mengeluarkan sejumlah rupiah semampunya.
Metode ini terbukti ampuh. Rata-rata pasien gagal ginjal di RSUD Wongsonegoro memiliki harapan hidup lebih panjang, dibanding mereka yang kehidupan sosialnya lebih individual.