Militer AS Kuak Rencana Peretasan Otak Guna Tingkatkan Kemampuan

Militer Amerika Serikat berupaya meretas otak manusia untuk meningkatkan kemampuan kognitif para pasukannya.

oleh Citra Dewi diperbarui 30 Apr 2017, 21:00 WIB
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Arlington - Militer Amerika Serikat berupaya meretas otak manusia untuk meningkatkan kemampuan kognitif para pasukannya.

Badan dari Departemen Pertahanan AS yang bertanggung jawab dalam pengembangan baru untuk militer, DARPA, mengungkap bahwa pihaknya mendanai delapan upaya penelitian terpisah untuk menentukan apakah rangsangan listrik dapat digunakan dengan aman untuk 'meningkatkan pembelajaran dan mempercepat pelatihan keterampilan'.

Hal tersebut bertujuan untuk memungkinkan seseorang dengan cepat menguasai keterampilan kompleks yang biasanya memerlukan waktu berjam-jam berlatih.

Program bernama Targeted Neuroplasticity Training (TNT), bertujuan menggunakan sistem saraf tepi untuk mempercepat proses belajar. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengaktifkan proses yang dikenal sebagai 'synaptic plasticity' atau plastisitas sinaptik -- sebuah proses kunci di otak yang terlibat dalam pembelajaran -- dengan stimulasi listrik.

"DARPA sedang mendekati studi plastisitas sinaptik dari berbagai arah untuk menentukan apakah ada cara yang aman dan bertanggung jawab guna meningkatkan pembelajaran dan mempercepat pelatihan untuk keterampilan yang relevan dengan misi keamanan nasional," kata Manajer Program TNT, Doug Weber, seperti dikutip dari Daily Mail, Minggu (30/4/2017).

Saat dirangsang, para peneliti bekerja mengidentifikasi mekanisme fisiologis yang bisa membuat otak lebih 'adaptif' selama proses belajar. Hal tersebut, misalnya bisa digunakan untuk mempercepat proses belajar bahasa asing.

Sebuah tim di Texas Biomedical Device Center di Unversity of Texas di Dallas sedang mempelajari efek tersebut, setelah mendapatkan kontrak sehingga US$ 5,8 juta dari DARPA.

"Personel militer diminta memanfaatkan berbagai keterampilan perseptual--kemampuan memahami atau mencari makna dari data yang diterima berbagai indra, motorik, dan kognitif yang kompleks dalam kondisi menantang," ujar Distinguished Chair dalam Bioengineering (Rekayasa hayati) Texas Instruments, Direktur TxBDC, dan Ketua Departemen Bioengineering, Dr Robert Rennaker.

"Penguasaan keterampilan sulit ini, termasuk kelancaran berbahas asing, biasanya membutuhkan latihan berjam-jam," imbuh Rennaker.

Sejumlah tim akan bekerja dengan para analis kecerdasan dan spesialis bahasa asing untuk membentuk platform seputar praktik pelatihan saat ini.

Mereka juga akan membandingkan teknik invasif (seperti perangkat implan) versus stimulasi non-invasif, dan mempelajari bagaimana menghindari potensi risiko, efek samping, dan etika penggunaan teknik tersebut.

Kontrak penelitian juga diberikan kepada tim di Arizona State University, Johns Hopkins University, University of Florida, University of Maryland, University of Wisconsin, dan Wright State University.

Para peneliti akan menggunakan berbagai teknik tersebut dengan beragam aplikasi, termasuk pengambilan keputusan dan navigasi spasial, persepsi ucapan, dan pengenalan ancaman.

Program tersebut diharapkan berjalan selama empat tahun. Pada saat itu, DARPA berencana menunjukkan bahwa metode tersebut dapat menghasilkan peningkatan setidaknya 30 persen dalam tahap belajar dan/atau kinerja keterampilan dengan efek samping minimal.

"Bayangkan Anda sedang belajar sesuatu yang baru, seperti tabel perkalian atau cara memukul bola golf," kata Rennaker.

"Ketika Anda melakukannya dengan benar, ketika bola lampu menyala, sistem ini diaktifkan."

"Dengan merangsang saraf vagus selama proses pembelajaran, kami secara artifisial melepaskan bahan kimia ini untk meningkatkan koneksi tersebut selama belajar," ujar Rennaker.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya