Liputan6.com, Jakarta - Semenanjung Korea yang memanas dan konflik di Suriah yang tak kunjung usai memicu kekhawatiran bahwa Perang Dunia III segera menjelang.
Sejarah mencatat, sudah dua kali dunia mengalami pertempuran global pada era modern: Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Perang Dunia I yang berlangsung sejak 28 Juli 1914 hingga 11 November 1918 mengorbankan lebih dari 38 juta manusia. Sebanyak 17 juta tewas dan lainnya luka-luka.
Sementara, Perang Dunia II menjadi konflik militer paling mematikan sepanjang sejarah. Sebanyak 60 juta orang tewas karenanya. Jumlah ini sekitar 3 persen dari populasi dunia pada 1940, yang jumlahnya 2,3 miliar jiwa.
Baca Juga
Advertisement
Itu belum termasuk mereka yang meninggal akibat penyakit atau kelaparan terkait perang.
Tak terbayang jadinya jika Perang Dunia III meletus dengan senjata yang jauh lebih canggih dan mematikan dari pertempuran-pertempuran sebelumnya.
Bahkan, Paus Fransiskus mengkhawatirkan krisis yang kini terjadi di Semenanjung Korea. Insiden ini ditakutkan memicu Perang Dunia III.
"Sedikit demi sedikit, tapi potongannya semakin besar dan terkonsentrasi di tempat yang sudah panas. Hari ini sebuah perang yang lebih luas akan menghancurkan. Saya tidak ingin menyebut setengah dari manusia, tapi sebagian besar manusia dan budaya (akan musnah). Itu akan sangat dahsyat. Saya rasa umat manusia saat ini tidak akan dapat menanggungnya," ujar Paus Fransiskus seperti dilansir CNN.
Selalu ada manusia yang menjadi korban permusuhan politik dan ambisi para pemimpin dunia yang mengobarkan perang. Tak hanya satu, tapi ribuan, bahkan jutaan.
Sebagian dari mereka melayang jiwanya akibat ketegangan yang terjadi di tengah permusuhan hebat. Bahkan ada yang sengaja dibunuh untuk menciptakan dalih.
Berikut kisah korban pertama yang menjadi tumbal perang dunia. Inilah kisah orang-orang yang kehilangan nyawa hanya beberapa saat setelah konflik pecah, seperti Liputan6.com kutip dari berbagai sumber:
1. Tembakan Maut di Dalam Kereta
Perang Dunia I bermula dari sebuah pembunuhan. Pada 28 Juni 1914, putra mahkota Austria-Hungaria Archduke Franz Ferdinand dan istrinya Sophie dihabisi saat berkunjung ke Sarajevo, ibu kota Bosnia.
Bosnia sebelumnya adalah bagian dari Kekaisaran Ottoman, tapi dianeksasi oleh Austria-Hongaria pada 1908. Kunjungan sang adipati untuk mengecek kesiapan tentaranya itu menjadi kontroversi. Pelakunya, Gavrilo Princip, adalah warga Serbia.
Pembunuhan tersebut berujung pada ultimatum Habsburg terhadap Kerajaan Serbia. Sejumlah aliansi yang dibentuk selama beberapa dasawarsa sebelumnya terguncang. Sehingga dalam hitungan minggu saja, semua kekuatan besar terlibat dalam perang. Dan melalui koloni mereka, konflik ini segera menyebar ke seluruh dunia.
Insiden itu juga menjadi casus belli, pemicu sebuah perang dahsyat, yang menyebarkan malapetaka hingga penjuru Bumi.
Dua aliansi besar, Entente Powers--Inggris, Prancis, Serbia, dan Kekaisaran Rusia (selanjutnya Italia, Yunani, Portugis, Rumania, dan Amerika Serikat ikut bergabung)--bertempur melawan Central Powers, yakni Jerman dan Austria-Hungaria (selanjutnya Turki Ottoman dan Bulgaria ikut bergabung).
Agak sulit untuk melacak identitas korban-korban pertama yang jatuh dalam Perang Dunia I.
Namun, seperti dikutip dari Daily Mail, Senin (1/5/2017) sejumlah sejarawan militer mengungkapkan salah satu korban pertama adalah warga sipil dari Inggris.
Namanya Henry Hadley. Ia adalah seorang guru bahasa yang kala itu berusia 51 tahun.
Korban tewas kurang dari tiga jam setelah Inggris menyatakan perang terhadap Jerman. Sebutir peluru bersarang di perutnya ketika Hadley menempuh perjalanan menggunakan kereta dari Berlin.
Hadley adalah seorang mantan perwira di West India Regiment. Saat Jerman mendeklarasikan perang terhadap Prancis pada 3 Agustus 1914, ia masih berada di Berlin dan tengah mengajar.
Menyadari bahwa negaranya, Inggris, akan terseret dalam pusaran konflik, ia kemudian kabur. Ia naik kereta yang akan membawanya ke Paris pada pukul 11.00 pagi.
Entah apa yang terjadi, Hadley menjadi gelisah lalu marah dengan pelayanan yang lambat di restoran kereta. Adu mulut kemudian pecah di depan sejumlah perwira Jerman.
Setelah sempat kembali ke tempat duduknya, Hadley lagi-lagi menuju gerbong restoran. Saat itulah, seorang tentara Jerman menembak perutnya dalam jarak dekat dengan pistol. Kereta kala itu berada dekat perbatasan Belgia.
Pengurus rumah tangga yang menyertai perjalanan Hadley, Elizabeth Pratley, bergegas keluar dari kompartemen kereta. Ia menemukan majikannya terbaring di lantai dan dikelilingi tentara Jerman.
"Mereka telah menembakku, Nyonya Pratley. Aku sudah selesai," kata Hadley pada pelayannya itu.
Saat korban ditembak, Inggris belum secara resmi mengumumkan perang terhadap Jerman.
Hadley dibawa ke rumah sakit dan bertahan hidup selama 24 jam, namun meninggal pada pukul 03.15 waktu Jerman, 5 Agustus 1914.
Tiga jam sebelum napas terakhir dihela, Britania Raya baru mengumumkan perang terhadap Jerman.
Ketika berita tentang kematian Hadley sampai di London, Pemerintah Inggris menuntut penjelasan. Namun pihak Jerman membantah tuduhan ada 'permainan kotor' yang memicu maut.
Informasi bahwa Henry Hadley menjadi salah satu korban pertama Perang Dunia I -- setidaknya untuk pihak Inggris -- disampaikan sejarawan Richard van Emde dalam bukunya Meeting The Enemy yang dirilis pada 2013.
"Hadley adalah korban Perang Dunia Pertama pertama dari Inggris dan orang pertama yang meninggal sebagai akibat langsung dari tindakan musuh. Ia kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah," kata dia.
Kesalahan korban, sang sejarawan menambahkan, adalah membuat para perwira Jerman merasa tak nyaman dengan perilakunya yang emosional. Apalagi di tengah atmosfer penuh ketegangan yang meningkat saat seluruh Eropa terseret dalam perang, ujar sang sejarawan.
Sebelumnya diyakini, orang Inggris pertama yang tewas dalam Perang Dunia I adalah Prajurit John Parr yang gugur tiga pekan setelah pertempuran dimulai.
Advertisement
2. Tumbal Plot Hitler
Kala itu, Agustus 1939, Adolf Hitler bersiap untuk menginvasi Polandia. Namun, bos Nazi itu membutuhkan dalih untuk menyerang.
Sebuah plot kemudian dirancang. Senja itu, saat sinar mentari menerpa tiang kayu raksasa yang menonjol dari jajaran hutan pinus, dua mobil melewati gerbang stasiun radio milik Jerman.
Kendaraan itu berhenti di luar gedung transmisi bertingkat tiga. Dari dalamnya, tujuh perwira elite SS, yang dipimpin Alfred Naujocks, menyamar sebagai partisan Polandia. Mereka siap melaksanakan tugas untuk mewujudkan keinginan sang fuhrer.
Mereka merebut stasiun radio tersebut. Agar lebih meyakinkan, sesosok jasad ditinggalkan di tangga. Ia adalah Franz Honiok, yang dipilih polisi karena dikenal sebagai simpatisan Polandia. Warga Jerman berusia 41 tahun itu berprofesi sebagai petani dan penjaja peralatan pertanian.
Jasad korban yang diculik pada sehari sebelumnya dijadikan 'bukti' telah terjadi agresi Polandia.
Pihak Jerman menimpakan kesalahan pada Polandia.
Pengambilalihan radio Jerman oleh orang Polandia dilaporkan oleh radio Nazi pada pukul 22.30 malam dan oleh BBC pada malam yang sama. Kabar serupa juga diwartakan di di New York Times keesokan harinya.
Peristiwa jelang malam pada 31 Agustus 1939 di sekitar stasiun radio Gliwice itu menyediakan alasan bagi Adolf Hitler untuk menyerang Polandia, yang kemudian membawa warga Bumi ke dalam konflik enam tahun paling suram dan mematikan dalam sejarah: Perang Dunia II.
"Pelanggaran wilayah Jerman oleh militan tentara Polandia bikin habis kesabaran kita," kata Hilter di depan Reichstag.
Kini, stasiun radio tersebut diubah jadi museum. "Banyak orang yang mungkin tak akan pernah tahu bahwa apa yang terjadi di sini memulai sebuah perang besar. Itu bukan momen yang mudah diingat karena berbagai alasan," kata direktur stasiun radio Andrzej Jarczewski, seperti dikutip dari Telegraph.
Perihal serangan Gliwice kali pertama muncul selama persidangan di Nuremberg. Namun baru pada 1958 fakta-fakta lengkap terungkap.
Kala itu, penulis Inggris Comer Clarke melacak jejak mantan komandan SS-Sturmbannfuhrer Alfred Naujocks di Hamburg.
Kepada Clarke, Naujocks mengaku apa yang ia perbuat kala itu. "Ya, aku memulai semua itu dan kurasa tidak ada yang akan menggangguku sekarang."
Dalam artikelnya, Clarke mengidentifikasi Alfred Naujocks sebagai, "The Man Who Started The Last War" -- sang pemicu perang terakhir.
Naujocks meninggal pada 1960 tak pernah diadili dalam pengadilan kejahatan perang. Ia tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya memicu Perang Dunia II.