Journal: Petaka dari Tas Sekolah Bocah-Bocah

Banyak anak sekolah membawa tas berat. Pihak sekolah tak menyadari ada bahaya di balik tas anak muridnya.

oleh Gde Dharma Gita Diyaksa diperbarui 02 Mei 2017, 19:41 WIB
Sejumlah Anak SD Menggendong Tas yang kelebihan Beban (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Liputan6.com, Jakarta - Bel berbunyi saat matahari tengah bersinar terik di Jakarta. Keriuhan sontak pecah di antara siswa kelas empat SD Negeri 11 Rawa Bunga, Jakarta Timur, Rabu, 10 April 2017. Seperti umumnya anak SD, wajah tampak semringah ketika jam pulang tiba.

Salah satu siswa, Aulia Putri Namira, segera merapikan tas dan bergegas meninggalkan kelas. Bagi Aulia, perjalanan pulang merupakan kesenangan sekaligus perjuangan. Sebab, ia harus berjalan 250 meter dengan tas seberat 4,8 kilogram di punggung. 

Sudah sering Aulia mengeluhkan berat beban tasnya kepada sang bunda. "Ma, aku capek," keluh Aulia seperti dituturkan Eva Nilam Sari, ibunda Aulia kepada Journal Liputan6.com.

Cerita seperti ini bukan hanya sekali dua kali. Kata sang bunda, anaknya mengeluh setiap pulang dari sekolah. Bukan lantaran aktivitas sekolah yang membuat buah hatinya kecapekan, melainkan berat beban tas yang harus digendongnya selama pergi dan pulang sekolah.

Beban tas yang berat tak lepas dari jumlah buku yang harus dibawa ke sekolah. Jumlah buku ini menyesuaikan dengan jumlah mata pelajaran. Untuk satu mata pelajaran, kata Eva, anaknya harus membawa satu buku paket, dua buku tulis, dan satu buku Lembar Kerja Siswa (LKS).

Jika dalam satu hari Aulia harus mengikuti empat mata pelajaran, maka sedikitnya 16 buku harus dibawa. Berat 16 buku ini belum ditambah dengan bawaan lain yang biasa dibawa si buah hati, seperti air minum, payung, dan perlengkapan lain.

 "Itu kan berat. Jadinya tiap hari ngeluh," kata Eva.

Sejumlah Buku Pelajaran yang Dibawa Anak SD (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Masalah beban ini rupanya tak disadari sejumlah kepala sekolah. Kepala SD Negeri 11 Rawa Bunga, Asnah Magdauli Hutapea, mengaku kerap mendapati anak muridnya menggendong tas yang tampak berat.

Hanya saja, dia tidak tahu seberapa berat beban tas yang digendong. Terlebih, Asnah pun absen mengetahui batas toleransi beban tas yang ideal dibawa anak. "Saya tidak tahu," ucap Asnah.

Hal sama juga dikemukakan Kepala SD Negeri 01 Menteng Edi Kusyanto. Edi bahkan menyebut Dinas Pendidikan DKI Jakarta tidak memberikan imbauan terkait beban tersebut. Ia mengatakan beban tas tak menjadi prioritas dalam rapat antar-kepala sekolah di tingkat Provinsi DKI Jakarta.

"Ya kita bahas masalah program sekolah, bagaimana meningkatkan nilai anak," ujar Edi.

Jadwal Mata Pelajaran Anak SD (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Masalah beban tas berlebih bagi siswa ini merupakan masalah serius. Dokter Otdeh Siahaan Sp. OT, ahli tulang belakang dari Rumah Sakit Permata Jonggol, mengatakan beban tas yang tidak semestinya dinilai bisa membawa perubahan pada struktur tulang belakang. Masalah perubahan struktur ini perlu diwaspadai.

Karena itu, Otdeh menegaskan, masalah berat tas seharusnya segera menjadi bahasan para pendidik. Batas toleransi beban tas sudah menjadi kajian di dunia medis. "Bukan hanya dibahas secara nasional, tapi sudah dibahas secara internasional," kata Otdeh. 


Konsekuensi Pemikul Beban

Sejumlah penelitian tentang berat tas anak di Amerika Serikat mengemukakan, banyak anak yang mengeluhkan nyeri punggung. Masalah ini, umumnya terjadi pada anak yang menggendong tas dengan beban berat dengan durasi yang lama.

Tanpa disadari, masalah tersebut kini mengintai anak-anak di Indonesia, termasuk Jakarta. Dokter Didik Librianto, Sp. OT, ahli tulang belakang Rumah Sakit Pondok Indah, menerangkan, masalah beban tas ini cukup pelik. Beban tas, tak semata mengenai berat yang harus diangkut, tetapi juga mengenai kondisi tulang belakang si anak.

Menurut Didik, anak normal yang mengendong tas dengan beban berlebihan akan membuat tulang belakang mereka sedikit bengkok. "Sementara anak yang sudah mengalami kelainan tulang belakang, itu bisa lebih cepat progress-nya," kata Didik.

Didik mengatakan, masalah beban tas ini bukan perkara sepele. Masalah ini harus diperhatikan sebab, pembawa tas yang umumnya anak-anak SD ini memiliki struktur tulang yang masih elastis. Ini membuat mereka rentan terhadap risiko kelainan tulang belakang.

Sejumlah Anak SD Menggendong Tas (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Didik memberi contoh keluhan nyeri punggung yang dialami anak pembawa beban tas terlalu berat. Keluhan tersebut, kata Didik, merupakan sinyal dari tubuh yang melampaui kapasitasnya.

"Apabila dibiarkan akan menimbulkan problem. Sudah terasa nyeri otomatis harus dihindari," kata Didik.

Pendapat Didik senada dengan Otdeh. Dia mengaku kerap melayani pasien yang mengalami keluhan atau kelainan tulang belakang. Ia mencontohkan salah satu pasien yang sedang ditangani. Pasien tersebut terbiasa membawa beban sekitar 20 kilogram di tasnya.

Akibatnya, si pasien mengalami perubahan struktur tulang belakang. Gangguan yang diderita juga cukup parah: miring 40 derajat dan membungkuk ke depan. Di dunia medis gangguan seperti ini disebut kifosis.

"Kalau jalan itu nafasnya tersengal-sengal," kata Otdeh sembari memperagakan postur tubuh pasiennya.

Selain berpengaruh terhadap pernapasan, kifosis juga bisa membuat penderitanya mengalami nyeri punggung atau pegal-pegal di leher. Pada rentan waktu yang lama kifosis dapat menyebabkan kesemutan dan pusing.

"Karena pembuluh darah dan syaraf tertekan," ucap Otdeh.

Buku-buku Pelajaran Milik Siswa SD (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Beban tas akan makin menjadi masalah buat penderita kelainan tulang belakang. Otdeh bersepakat dengan Didik ihwal beban tersebut bisa mempercepat laju kerusakan yang dialami penderita kelainan tulang belakang seperti skoliosis. Penderita skoliosis memiliki struktur tulang belakang yang membengkok seperti huruf C atau S.

"Dalam keadaan yang sudah parah, skoliosis ini dapat menyebabkan kematian," ujar Otdeh.

Peringatan Didik dan Otdeh rupanya tak banyak diketahui orangtua siswa. Meski beban tas anak sudah lama menjadi isu penting di negara maju, Eva Nilam Sari pun kaget, saat mengetahui konsekuensi tersebut. "Saya malah tidak tahu," tutur Eva.


Pentingnya Pencegahan

Negara-negara di Benua Eropa dan Amerika, persoalan beban tas sudah mendapatkan perhatian yang serius. Perhatian ini tak bisa dilepaskan dari masalah kelainan tulang belakang yang sulit disembuhkan. Masalahnya, penyembuhan terhadap kelainan tulang belakang tak cukup dengan meminum obat atau terapi.

Penderita yang sudah parah harus menempuh prosedur pembedahan. Sementara, biaya yang dikeluarkan untuk pembedahan juga tergolong mahal sekitar Rp 80 juta hingga Rp 200 juta. Besaran angka tersebut juga tak bisa memberi jaminan tubuh kembali normal seperti semula.

Ungkapan lebih baik mencegah daripada mengobati tampaknya relevan dengan masalah ini. Menurut Otdeh, perlu ada edukasi sejak dini terkait beban tas. Edukasi ini tak lepas dari peran sejumlah pihak, mulai dari orangtua, pendidik, hingga anak sendiri.

Seorang Siswa Menarik Tas untuk Menghindari Sakit Punggung (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)
 

Sebagai penderita, anak harus terbuka kepada orangtua. Si anak harus diajak terbuka terhadap keluhan nyeri yang dirasakan. Sebab, nyeri itu menjadi indikator beban tas sudah melebihi batas toleransi.

"Orangtua juga harus tanggap memberikan solusi terbaik bagi anaknya," ucap Otdeh. Otdeh mencontohkan, pembagian isi tas anak dengan tujuan si anak tak menanggung beban tas berlebih.

Selain pembagian isi tas, Otdeh menyebut, pihak sekolah juga harus terlibat yakni dengan membuat loker yang berfungsi menampung sejumlah keperluan si anak. Ini dianggap bisa meringankan beban tas. Sebab, beban tas umumnya berasal dari buku-buku pelajaran.

"Jadi mereka tidak membawa buku yang berat dari rumah," kata Otdeh.

Siswa Mengerjakan Soal yang Tertulis di LKS (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Sopan Adrianto bersepakat soal ini. Ia bahkan menggarisbawahi pokok masalah dan solusinya terdapat dalam kurikulum. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah berusaha keras menyederhanakan kurikulum yang saat ini digunakan.

"Kita tidak boleh membiarkan berlarut-larut," kata Sopan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya