Liputan6.com, Jakarta Indonesia dinilai harus lebih maksimal untuk menarik uang masuk ke dalam negeri, seperti dari perolehan laba atau keuntungan korporasi besar di Indonesia.
Caranya antara lain dengan merevisi undang-undang lalu lintas devisa. Langkah lain dengan memberikan skema insentif seperti keringanan pajak atau bentuk lainnya.
Pengamat Ekonomi Bima Yudhistira Adhinegara menilai, sangat memungkinkan laba atau keuntungan korporasi asing di Indonesia bisa ditahan di dalam negeri.
"Pemerintah harus bisa memberi insentif. Ini yang justru diperbanyak, insentif korporasi besar induk di luar negeri, keringanan pajak perizinan, misal return earning sisa laba di reinvestasi ke Indonesia," jelas dia.
Baca Juga
Advertisement
Bima mencontohkan, pemerintah di Thailand yang menetapkan aturan bahwa setiap keuntungan korporasi yang berorientasi ekspor, terutama milik asing, wajib ditahan terlebih dulu di dalam negeri dan dikonversi ke mata uang bath. Setelah itu baru bebas digunakan.
Thailand mengambil kebijakan ini karena pengalaman saat terlanda krisis 1998. Ekonomi negara ini hancur lebur setelah menerapkan devisa bebas. "Sekarang di Thailand itu, hasil ekspor saja harus ditahan delapan bulan," jelas dia.
Di Indonesia, kondisinya dinilai berbeda. Dana ekspor misalnya, justru tersimpan di Singapura. Langkah mempertahankan perolehan laba satu perusahaan juga akan sulit. Sebab itu pemerintah diminta berhati-hati untuk menerapkan aturan jelas sehingga investor asing tidak khawatir.
"Solusinya revisi aturan lalu lintas devisa atau pemberian insentif lebih besar, sehingga mereka berpikir untuk ditanam lagi, asalkan beri kemudahan dan kepastian hukum, sehingga berpikir lebih baik di reinvestasi di Indonesia dibanding dilarikan kembali ke luar negeri," tambah dia.
Adapun salah satu potensi dana yang bisa ditarik adalah keuntungan dari perusahaan produsen rokok. Sebab setiap tahun perusahaan ini membukukan laba besar dan juga setoran cukai yang tak sedikit.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng mengakui jika skala ekonomi industri tembakau sangat besar. Jika dirinci, nilai ekspor tembakau mencapai US$ 165 juta. Sementara ekspor produk hasil tembakau mencapai US$ 1,1 miliar.
Nilai penjualan rokok di dalam negeri diprediksi mencapai Rp 400 triliun per tahun, dengan asumsi peneriman cukai 35 persen pada penerimaan negara.
Selanjutnya, nilai emiten rokok di bursa efek, saham perusahaan rokok, bisa mencapai Rp 165 triliun. Angka ini paling besar dari seluruh sektor lain. Kemudian bila dikalkulasi keseluruhan nilai ekonomi rokok tembakau di dalam negeri berkisar antara Rp 500 triliun sampai dengan Rp 600 triliun.
"Ini harus dilihat pemerintah sebagai satu potensi keuangan cukup besar. Yang menopang ekonomi negara," jelas dia.
Kontribusi besar lain yang harus diperhatikan dari industri rokok yakni dalam bentuk pajak dan cukai yang nilainya mencapai Rp170 triliun.
"Bicara keuntungan dari perusahaan rokok yang beroperasi di Indonesia, keuntungan itu kalau kita rata ratakan sekitar 30 persen dari nilai transaksi, dari 400 triliun sekitar Rp120 triliun. Keuntungan ini kemudian dibagikan kemana saja. Itu yang harus dicermati, dilihat," kata dia.
Dia melihat belum ada regulasi yang cukup memadai untuk mengoptimalkan ekonomi tembakau sebagai fondamen dari ekonomi nasional.
Dari sisi pajak dan cukai, harus digunakan untuk dua hal pokok. Membangun memperkuat pertanian tembakau dan industri di dalam negeri.