Liputan6.com, Kupang Balita stunting (balita bertubuh pendek) menjadi salah satu permasalahan di wilayah Indonesia bagian timur, terutama Nusa Tenggara Timur. Data terakhir tahun 2017, kasus stunting di NTT mencapai angka 49 persen.
Padahal secara nasional, kasus stunting di Indonesia menurun. Yang sebelumnya 37,5 persen menjadi 27,5 persen. Seluruh data ini berasal dari laporan Dirjen Kesehatan Masyarakat.
Advertisement
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, penyebab utama balita pendek karena tidak diberikan ASI. Hal ini terjadi seperti di daerah perbatasan, Atambua.
”Di perbatasan Atambua, balita yang tidak diberikan ASI mencapai 75 persen. Ada pengaruh budaya yang kuat. Ketika ibu selesai melahirkan, ia akan diasingkan dan terpisah dengan bayinya. Artinya, bayi tidak mendapatkan ASI sepenuhnya dari ibu kandungnya,” kata Menkes Nila usai memberikan pemaparannya dalam acara Kuliah Umum Kebijakan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga pada Selasa (2/5/2017) di Direktorat Poltekkes Kemenkes Kupang, NTT.
Pertumbuhan dan perkembangan bayi pun terganggu. Bayi tersebut tumbuh stunting. Namun, bukan hanya permasalahan tubuh yang pendek. Otak balita juga akan ikut terganggu atau dengan kata lain ber-IQ jongkok.
”Kemampuan anak yang ber-IQ jongkok akan membuat anak-anak tidak mampu mencapai sekolah (pendidikan) yang tinggi. Hal ini akan berujung pada beban negara ketika bonus demografi terjadi tahun 2020-2035,” ujar Menkes Nila.
Jumlah anak yang stunting akan membebani negara. Untuk itu, perlu adanya cara mengatasi ini, terkait ASI, yang berhubungan dengan perbaikan gizi.