Alumni Universitas Harvard Serahkan Petisi Ahok ke PN Jakut

Todung Mulya Lubis menilai persidangan Ahok jelas sekali ada perbedaan.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 03 Mei 2017, 12:00 WIB
Todung Mulya Lubis bersama beberapa alumni Univeritas Harvard lainnya saat mendatangi PN Jakut. (Liputan6.com/Putu Merta SP)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa alumnus Universitas Harvard hari ini menyambangi Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk menyerahkan petisi kepada pimpinan pengadilan. Petisi ini berisi penolakan tuntutan hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama.

Ahli hukum Todung Mulya Lubis, yang mewakili alumni Universitas Harvard, menuturkan petisi tersebut digagas 26 inisiator dan sudah ditandatangani lebih dari 10.000 orang.

"Saya mewakili 26 inisiator petisi kepada Ketua Pengadilan Jakarta Utara, terkait kasus dugaan penistaan agama yang disematkan kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok," kata Todung di PN Jakarta Utara, Rabu (3/5/2017).

"Tapi selain 26 inisiator ini ada 10.000 lebih concern citizen menandatangani petisi ini, dan akan ditandatangani lebih banyak lagi oleh warga yang concern dengan penegakan hukum," dia melanjutkan.

Todung mengaku awalnya enggan menyampaikan petisi tersebut kepada PN Jakarta Utara. Sebab, akan terkesan seperti melakukan intervensi kepada majelis hakim yang menangani kasus Ahok.

"Kami bukan pihak, sebetulnya kami agak enggan awalnya untuk masuk dan menulis petisi ini. Dan kami tak mau ditafsirkan melakukan intervensi dalam proses hukum yang sedang berjalan ini," kata dia.

Namun, Todung melanjutkan, untuk persidangan Ahok jelas sekali ada perbedaan. "Dalam keadaan normal, tidak boleh ada petisi seperti ini disampaikan kepada pihak pengadilan. Karena itu bisa ditafsirkan sebagai intervensi."

"Tapi peradilan kasus Basuki Tjahaja Purnama sudah memasuki tahap-tahap yang tidak normal. Kenapa, begitu? Banyak mobokrasi, begitu banyak intimidasi, begitu banyak tekanan yang dilakukan," dia menegaskan.

Todung menyatakan, pihaknya mencurigai proses sidang Ahok yang dinilai sudah sangat tidak objektif. Hakim sidang pun dalam posisi yang tidak mudah memutuskan.

"Ini adalah sebagai alasan kenapa kita menulis petisi ini, dan diharapkan bisa disampaikan ke majelis yang kebetulan juga ketua PN," kata dia.

 


Isi Petisi

Alumni Harvard lain, Dini Purwono, menuturkan, tujuan dibentuk petisi Ahok bukan mendukung Ahok. Namun, mereka mendukung penegakan keadilan. Sebab, kasus penistaan agama bisa jadi yurisprudensi kasus lain ke depan.

"Kita tak rela juga ruang pengadilan kita dijadikan legitimasi kepentingan pihak tertentu, dengan segala tekanan massa. Dan kenapa juga penting, kasus ini juga fenomenal dan ke depan ini bisa jadi landmark case. Di mana, putusan dalam kasus ini akan menjadi acuan. Jadi penting banget mendapatkan putusan yang tepat dan tidak salah," Dini memaparkan.

Berikut delapan poin petisi yang juga dimuat dalam laman change.org:

Kami yang namanya tercantum pada catatan kaki di bagian bawah halaman ini, ingin menyampaikan beberapa poin pemikiran kami sebagai berikut:

1. Dalam tuntutan JPU jelas bahwa Ahok sebagai terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana penistaan agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 156a KUHP, sehingga oleh JPU pasal penistaan agama itupun akhirnya TIDAK digunakan.

2. Namun demikian, JPU tetap menyatakan bahwa Ahok memenuhi unsur pidana pasal 156 KUHP dan karenanya Ahok dituntut hukuman pidana 1 (satu) tahun penjara dengan masa percobaan 2 (dua) tahun.

3. Berdasarkan pembacaan kami atas pasal 156 KUHP, dengan jelas dapat disimpulkan bahwa unsur terpenting yang harus dipenuhi dalam tindak pidana ini adalah tindakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia atas dasar ras,negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Yang seringkali kita sebut sebagai isu SARA.

4. Dari bukti-bukti dan keterangan yang disampaikan dalam persidangan, jelas bahwa dalam pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016 tidak ada pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia tertentu atas dasar SARA.

5. Dalam konteks kalimat "dibohongi pakai surat Al-Maidah 51" saksi ahli dalam persidangan telah menyatakan bahwa Ahok merujuk kepada oknum politik yang menggunakan ayat tersebut untuk menjegal lawannya dalam suatu persaingan elektoral, dan bukan merujuk kepada umat Islam. Dengan demikian kami tidak melihat bahwa unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 156 KUHP dalam hal ini terpenuhi.

6. Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dan karenanya selayaknya supremasi hukum ditegakkan. Ruang pengadilan adalah tempat dimana seharusnya kebenaran dan keadilan berdiri, dan bukan sekedar menjadi ruang justifikasi dan legitimasi atas mobokrasi.

7. Bahwa suatu proses peradilan yang baik akan berpegang teguh pada rasa keadilan dan tidak menyimpang dari filosofi/tujuan yang sesungguhnya dari suatu pemidanaan sebagaimana dimaksud oleh pembuat undang-undang.

8. Besar harapan kami agar Majelis Hakim (sidang Ahok) memutus perkara ini dengan seadil-adilnya berdasarkan semua bukti dan keterangan yang telah disampaikan dalam persidangan, hati nurani serta keyakinan majelis hakim, agar dari persidangan ini dapat lahir satu putusan pengadilan yang tepat dan terhormat dalam sejarah putusan pengadilan di Indonesia sehingga dapat menjadi preseden yang baik untuk kasus serupa.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya