Liputan6.com, Jakarta - Para ekonom dan analis memperkirakan bahwa China akan masuk dalam jebakan masyarakat kelas menengah (middle income trap). Hal tersebut beralasan. Ongkos tenaga kerja untuk industri di China sudah tinggi sehingga pertumbuhan ekonomi tak bisa melaju lebih kencang lagi. Hal yang sama juga dialami oleh Amerika Selatan.
Namun, Pendiri Lippo Group Mochtar Riady memiliki keyakinan berbeda. Menurut Mochtar, China tak akan terjerumus dalam jebakan ekonomi kelas menengah. Alasannya, China melakukan penyesuaian dengan mengembangkan ekonomi berbasis information technology (IT).
"Tiongkok di dalam IT mengalami perubahan yang drastis, saya tak yakin Tiongkok mengalami kerugian yang demikian," kata dia di Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Ekonomi China akan terus melaju dan lepas dari jebakan kelas menengah karena bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Dia pun bercerita mengenai perjalanan dirinya ke Jepang bulan lalu. Di sana, khususnya Tokyo, toko-toko masih ramai. Mochtar mengaku heran karena di kota sedemikian maju transaksi yang digunakan masih konvensional atau menggunakan uang tunai.
Baca Juga
Advertisement
Kondisi ini berbeda dengan di China. Bahkan di kota yang tidak terlalu besar seperti Quyang telah menggunakan transaksi e-payment.
"Beijing juga demikian. Kenapa Tokyo masih bertahan seperti 40 tahun lalu, toko masih ramai. Pertanyaannya saya ke teman Jepang apakah orang Jepang mengantisipasi negatifnya digital technology? Jawabannya tidak. Mungkin orang Jepang lebih konservatif," ujar dia.
Sikap China yang sangat merespons perkembangan zaman membuat perusahaan di sana tumbuh dengan baik. Maka tak heran, jika perusahaan China mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan di Jepang seperti Sharp, Hitachi, Toshiba, dan Panasonic.
"Pertanyaan saya kenapa, terjadinya hal ini, jawaban yang kita berikan adalah semua Tiongkok pakai e-payment, Jepang dengan kontan," ujar dia.
Hal ini menunjukkan kesuksesan bisa diraih jika sensitif terhadap perkembangan zaman. "Kalau satu perusahaan tidak sensitif terhadap perubahan perusahaan teknologi, ekonomi, politik maka perusahaan ini mengalami suatu kehancuran," tandas Mochtar Riady. (Amd/Gdn)