Liputan6.com, Brussels - Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menolak keputusan Dewan Keamanan PBB untuk menyelidiki dugaan kejahatan yang dilakukan militer Myanmar terhadap warga muslim Rohingya.
Pada Maret 2017, DK PBB sepakat untuk mengirimkan sebuah misi pencari fakta ke Myanmar demi menyelidiki tuduhan pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yang terjadi di negara bagian Rakhine.
Advertisement
"Kami tidak setuju dengan hal tersebut," ujar Suu Kyi saat konferensi pers bersama dengan Kepala Diplomatik Uni Eropa dalam kunjungannya ke Brussels, Belgia seperti dilansir The Guardian, Rabu (3/5/2017).
"Kami telah melepaskan diri dari resolusi karena menurut kami resolusi tersebut tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," ungkap perempuan berusia 71 tahun tersebut.
Lebih lanjut, peraih Nobel Perdamaian itu mengatakan, "negaranya akan 'senang menerima' rekomendasi yang 'sesuai dengan kebutuhan nyata kawasan'...tapi rekomendasi yang akan memecah belah dua komunitas di Rakhine tidak akan kami terima. Karena tidak akan membantu menyelesaikan masalah yang timbul sepanjang waktu."
Kelompok pemantau HAM mengatakan, ratusan warga Rohingya dibunuh oleh tentara pasca-serangan mematikan terhadap pos polisi di perbatasan Myanmar. Sementara itu, 75.000 warga Rohingya dikabarkan telah melarikan diri ke Bangladesh dipicu kekerasan tersebut.
Suu Kyi sendiri membantah jika ia dan pejabat Myanmar lainnya sengaja mengabaikan kekejaman yang terjadi.
"Saya tidak begitu yakin dengan apa yang Anda maksud bahwa kami sama sekali tidak peduli dengan dugaan kekejaman yang terjadi di Rakhine. Kami telah menyelidiki dan mengambil tindakan," ungkap Suu Kyi.
Penyelidik PBB sebelumnya mengatakan bahwa dugaan tindakan kekerasan kemungkinan mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis.