Liputan6.com, Jakarta - Tersangka pemberi keterangan tidak benar dalam kasus e-KTP, Miryam S Haryani memastikan mengajukan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sidang praperadilan Miryam S Harani juga sudah ditentukan jadwalnya.
"Tanggal 8 Mei, kami akan (sidang) praperadilan. Ini (Miryam) DPO bisa kami praperadilan lagi," ujar pengacara Miryam, Aga Khan saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, 2 Mei 2017.
Advertisement
Anggota tim kuasa hukum Miryam lainnya, Mita Mulya mengatakan, permohonan praperadilan yang diajukan kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap berjalan meski ditangkap usai buron.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengaku pihaknya tengah menyiapkan segala materi dan strategi yang dimiliki untuk menghadapi praperadilan Miryam S Haryani. Namun, KPK belum mendapatkan secara resmi pemberitahuan tentang jadwal praperadilan Miryam di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu.
"Namun, kemungkinan itu akan diagendakan di Mei ini apakah di pertengahan atau di waktu-waktu yang lain. Kami tunggu informasi dari Pengadilan kapan jadwal resminya," ucap Febri.
Praperadilan kali ini merupakan yang kesekian kalinya bagi KPK. Lembaga antirasuah tersebut kerap dipraperadilankan para tersangkanya.
Dari serangkaian praperadilan tersebut, ada yang dimenangkan KPK dan ada juga yang kalah. Pertanyaannya kemudian, pada praperadilan yang diajukan Miryam S Haryani ini, apakah KPK menang atau kembali kalah.
Kekalahan KPK dalam praperadilan, yang pertama adalah terkait penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan yang ketika itu masih berpangkat Komjen Pol dan menjabat sebagai Wakapolri.
1. Budi Gunawan
Alasan Budi Gunawan (BG) mengajukan praperadilan karena status barunya. Ketika itu, KPK menetapkan BG sebagai tersangka kasus dugaan kepemilikan rekening gendut saat menjabat Kalemdikpol (Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian).
Sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 16 Februari 2015 itu, dipimpin hakim tunggal Sarpin Rizaldi. Dalam putusannya, hakim Sarpin mengabulkan permohonan BG.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Hakim Sarpin.
Ia menyatakan, surat perintah penyidikan atau Sprindik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK terkait peristiwa pidana korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum.
"Oleh karenaya penetapan tersangka tidak memiliki kekuatan mengikat," ucap Hakim Sarpin.
Berikut ini putusan lengkap sidang praperadilan BG:
1. Mengabulkan permohonan praperadilan untuk sebagian
2. Menyatakan surat perintah penyidikan Sprindik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan pemohon sebagai tersangka oleh termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12b UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan A quo tidak mempunyai kekuatan mengikat
3. Menyatakan penyidikan yang dilakukan termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam penetapan tersangka terhadap diri pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12b UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penyidikan A quo tidak mempunyai hukum mengikat.
4. Menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon yang dilakukan termohon adalah tidak sah
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri pemohon oleh termohon
6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil.
Advertisement
2. Ilham Arif
Tidak berlangsung lama, yakni Selasa 12 Mei 2015, PN Jakarta Selatan kembali membuat KPK kalah dalam praperadilan. Kala itu yang mengajukan adalah mantan Wakil Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.
Dalam putusannya sidang yang dipimpin hakim tunggal Yuningtyas Upiek menyatakan, penetapan Ilham sebagai tersangka KPK tidak sah. Ia juga mementahkan bukti yang diajukan KPK selaku termohon. Sebab, KPK tidak bisa menunjukkan bukti aslinya.
"Menimbang bukti dan kumpulan berita acara yang diajukan termohon hanya foto copy, tidak ada aslinya dan ada yang tidak ditandatangani," kata hakim Yuningtyas, Selasa 12 Mei 2015.
Yuningtyas juga membacakan dengan lengkap beberapa salinan sebagai bukti yang tidak disertai berkas asli. Seperti, LHP BPK Nomor 02/HP/XIX/03/2012 tertanggal 27 Maret 2013. Juga beberapa salinan berita acara permintaan keterangan yang tidak disertai aslinya.
"Bukti perjanjian kerja sama rehabilitasi operasi dan pemeliharaan instalasi pengolahan minum Panaikang, bukti hasil audit anggaran tidak ada aslinya. Bukti rincian APBD tidak ada aslinya. Termohon (KPK) tidak bisa menunjukkan minimal 2 alat bukti yang sah. Tidak dapat menunjukkan bukti surat telah memeriksa calon tersangka. Tidak ada bukti telah didengar keterangan ahli," papar dia.
Atas hal tersebut, hakim memutuskan proses penyidikan terhadap Ilham tidak sah menurut hukum. Maka dari itu, status tersangka yang disandang Ilham selama 1 tahun ini dilepas. Hakim juga menyatakan jika penyitaan dan penggeledahan, serta pemblokiran rekening Ilham yang dilakukan KPK tidak sah.
"Terhadap petitum ganti rugi dan memulihkan hak pemohon, yang bersangkutan berhak ajukan kompensasi," pungkas Yuningtyas.
KPK menetapkan Ilham tersangka dugaan tindak pidana korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer, untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan PT Traya Tirta Makassar tahun anggaran 2006-2012. Atas dugaan ini, Ilham dituding merugikan negara sebesar Rp 38 miliar.
Usai putusan tersebut, KPK kembali menetapkan Ilham sebagai tersangka atas kasus yang sama dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru atas nama llham Arief Sirajuddin. Langkah tersebut, menurut KPK, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ilham dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
3. Hadi Purnomo
Kekalahan praperadilan ketiga KPK diberikan Hadi Poernomo. Mantan Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mengajukan praperadilan atas status tersangkanya terkait kasus dugaan korupsi permohonan keberatan pajak BCA tahun 2003.
Sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 26 Mei 2015 itu, dipimpin Hakim Haswandi. "Penetapan tersangka oleh termohon (KPK), penggeledahan, dan penyitaan pada pemohon tidak sah," ujar dia.
Selain itu, menurut Hakim Haswandi, sengketa pajak bukan merupakan wewenang KPK. Yang semula diduga merugikan negara juga tidak terbukti di persidangan.
"Sengketa pajak merupakan hukum khusus. Keberatan pajak bukan merupakan pidana dan bukan wilayah KPK. Juga negara tidak dirugikan seperti yang diungkapkan termohon," tambah dia.
KPK menetapkan Hadi sebagai tersangka dalam kapasitasnya selaku Dirjen Pajak tahun 2002-2004. Ia diduga mengabulkan permohonan keberatan pajak BCA melalui nota dinas bernomor ND-192/PJ/2004/ pada 17 Juni 2004.
Atas perbuatannya, Hadi Poernomo pun dijerat dengan Pasal penyalahgunaan wewenang. Yakni Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.
KPK pun mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas keputusan PN Jakarta Selatan tersebut. Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha, selain mengajukan proses hukum yang diwakili oleh Biro Hukum, lembaga ini juga turut menyerahkan memori PK.
"Kuasa hukum KPK yang diwakili Biro Hukum sudah mendaftarkan sekaligus menyerahkan memori PK terkait putusan praperadilan PN Jakarta Selatan atas gugatan praperadilan tersangka HP (Hadi Poernomo)," ujar Priharsa Nugraha saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis, 30 Juli 2015.
Advertisement
4. Bupati Nganjuk
Kekalahan keempat yang didapat KPK adalah praperadilan yang diajukan Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Taufiqurrahman. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Wayan Karya memutuskan, KPK tidak berwenang menangani kasus dugaan korupsi dan gratifikasi yang menjerat Taufiqurrahman.
Bahkan, Wayan mengembalikan kasus yang ditangani KPK tersebut dikembalikan ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Ia menilai, Kejagung lah yang pertama kali mengeluarkan surat perintah penyelidikan (sprindik) terhadap dugaan gratifikasi lima proyek di Nganjuk.
Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) antara KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri pada 2012 disebutkan, jika di antara ketiga lembaga tersebut menangani satu perkara yang sama, maka yang berhak menangani kasus tersebut adalah pihak yang pertama kali mengeluarkan sprindik.
Dalam pasal 29 MoU menyebutkan, masa berlaku MoU selama 4 tahun sejak ditandatangani, yakni 29 Maret 2012. Dengan demikian, MoU tersebut sudah tidak berlaku pada 29 Maret 2016. Sementara, KPK mulai menyidik kasus yang menjerat Taufiqurahman pada November 2016.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku kecewa atas putusan praperadilan tersebut. "Kami baru dapat informasi mengenai permohonan Bupati Nganjuk diterima sebagian. Tentu kita kecewa," ujar dia di Gedung KPK, Jakarta, Senin 6 Maret 2017.
Febri mengaku, KPK belum memutuskan langkah terkait putusan praperadilan Bupati Nganjuk itu. "Kami akan pelajari lebih lanjut apa putusannya," kata Febri.
KPK menjerat Bupati Nganjuk 2008-2013 dan 2013-2018 Taufiqurrahman dalam dua kasus, yakni dugaan korupsi terkait pelaksanaan sejumlah proyek di Kabupaten Nganjuk dan penerimaan gratifikasi atau hadiah.
Taufiqurrahman dijerat Pasal 12 huruf i dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Untuk kasus dugaan korupsi proyek di Kabupaten Nganjuk, Taufiqurrahman diduga secara langsung maupun tidak, dengan sengaja dan turut serta dalam pemborongan, pengadaan dan penyewaan terkait lima proyek yang dikerjakan Pemkab Nganjuk sepanjang 2009.
Kelima proyek itu adalah pembangunan jembatan Kedung Ingas, rehabilitasi saluran Melilir Nganjuk, proyek perbaikan jalan Sukomoro sampai Kecubung, rehabilitasi saluran pembuangan Ganggang Malang, dan proyek pemeliharaan berkala jalan Ngangkrek ke Mblora.
Lalu untuk dugaan gratifikasi, selaku Bupati Nganjuk Taufiqurrahman diduga telah menerima hadiah selama menjabat dua periode, yakni 2008-2013 dan 2013-2018. Akan tetapi, KPK belum mau membeberkan rincian dan detail kasus dugaan gratifikasi tersebut.