Liputan6.com, Jakarta Uji coba rudal yang dilakukan Korea Utara mengundang reaksi negatif dari berbagai kalangan. Negara pimpinan Kim Jong Un tersebut kini tengah mendapat sanksi dari Dewan Keamanan PBB sebagai bagian konsekuensi yang harus ditanggung atas langkahnya.
Korea Utara dilarang membuka cabang bank di luar negeri. PBB juga melarang anggotanya mengoperasikan institusi keuangan untuk kepentingan Pyongyang.
Meski begitu, dilansir dari Vox.com, Sabtu (6/5/2017), sanksi ternyata tidak berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi negara komunis ini.
Baca Juga
Advertisement
Sebuah laporan yang ditulis wartawan New York Times Choe Sang-Hun bahkan mengungkap, Korea Utara masih mampu mendorong pertumbuhan ekonominya dalam beberapa waktu terakhir.
Beberapa ahli memprediksi, ekonomi Korea Utara dapat tumbuh 1 hingga 5 persen per tahun. Laporan tersebut juga menyebut, jika ekonomi Korea Utara bisa tumbuh lebih dari ekspektasi maka negara ini akan bisa tahan dari tekanan sanksi internasional.
Pertumbuhan ekonomi mampu dilakukan Korea Utara dengan memperlebar kesempatan swasta untuk berbisnis di negara ini. Korea Utara juga masih mampu memanen devisa dalam jumlah besar lewat perdagangan barang lewat jalur ilegal.
Sejak pemerintahan Kim Jong Un, masyarakat negara ini banyak yang beralih profesi sebagai pedagang. Data menunjukkan, jumlah tempat perdagangan di Korea Utara juga meningkat dua kali lipat menjadi 440 sejak tahun 2010. Lebih dari setengah juta populasi penduduk Korea Utara berprofesi di bidang ritel dan perdagangan.
Meski pertumbuhan ekonomi negeri ginseng merah ini diprediksi meningkat, kesejahteraan hidup penduduknya belum membaik. Menurut PBB, kekurangan pangan di Korea Utara terus meluas. Sekitar 70 persen penduduknya masih mengandalkan bantuan pangan, 40 persen diantaranya kekurangan gizi.
Hingga saat ini, banyak negara besar yang mendukung sanksi PBB terhadap Korea Utara. Terbaru, Pemerintah India mengumumkan pemutusan kerja sama dagang dengan Korea Utara setelah tensi hubungan antara Korea Utara - Amerika Serikat (AS) terus meningkat. Pemutusan kerja sama dagang ini berlaku bagi semua barang ekspor, terkecuali bahan makanan dan obat-obatan.