Liputan6.com, Washington, DC - Usaha Partai Demokrat di Kongres Amerika Serikat untuk menggelontorkan Rancangan Undang-undang (RUU) yang menghapus hak presiden AS melontarkan serangan nuklir membuat para pemilihnya turut turun tangan.
Mereka mendukung upaya itu karena khawatir, Donald Trump akan menggunakannya tanpa pemikiran lebih dalam, untuk menyerang Korea Utara atau negara lainnya.
Advertisement
Sekitar setengah juta warga AS telah menandatangani sebuah petisi yang mendukung RUU yang diinisiasi oleh dua anggota DPR dari Partai Demokrat, yang berisi pentingnya deklarasi perang oleh Kongres sebelum presiden dapat meluncurkan senjata nuklir.
Dalam RUU itu, presiden AS masih dimungkinkan meluncurkan sebuah senjata nuklir jika musuh asing menyerang terlebih dahulu.
"Meskipun penting bagi presiden memiliki wewenang yang jelas untuk menanggapi serangan nuklir ke Amerika Serikat, pasukan, atau sekutu kita, tidak ada presiden yang boleh meluncurkan serangan pertama nuklir tanpa persetujuan Kongres," kata Senator Ed Markey, yang memperkenalkan RUU tersebut bersama Ted Lie dalam sebuah konferensi pers.
Keduanya membawa 28 boks yang berisi petisi dari warga AS saat konferensi pers berlangsung. Demikian seperti dikutip dari Independent, Sabtu (6/5/2017).
"Selama Presiden Trump punya akun Twitter, kami butuh kebijakan no-first strike (serangan terlebih dahulu) nuklir oleh AS," ujar Markey lagi.
Sudah menjadi pengetahuan umum, Trump tak dapat mengendalikan dirinya untuk berkomentar di akun pribadi terkait kebijakan atau apapun itu -- bahkan saat ia telah menjadi presiden AS.
Hal itu memicu kekhawatiran bahwa ia tak bisa menahan diri untuk menekan tombol peluncuran nuklir di sebuah koper khusus yang kodenya dipegang para Presiden AS.
Ketegangan antara AS dan Korea Utara telah meningkat baru-baru ini menyusul beberapa uji rudal yang diperintahkan oleh Pyongyang.
Meski menginginkan upaya damai, Trump memperingatkan bahwa konflik "besar" mungkin pecah jika Korea Utara tidak menutup program senjata nuklirnya.
Membatasi wewenang presiden untuk meluncurkan senjata nuklir telah lama diperdebatkan oleh mereka yang khawatir bahwa seorang penguasa bisa membuat seruan yang justru mengarah pada perang nuklir, tanpa diawali pertimbangan matang.
Mantan Presiden Barack Obama pernah mempertimbangkan untuk mengubah kebijakan itu -- yaitu meminta persetujuan Senat terlebih dahulu-- namun memutuskan untuk tidak melakukannya setelah mendapat saran dari pejabat terkait.
Gedung Putih tidak menanggapi permintaan respons terkait RUU yang diusulkan tersebut.