Liputan6.com, London - Sally Jones yang disebut-sebut sebagai pengantin ISIS asal Inggris kini menjadi target pencarian Pentagon, baik hidup ataupun mati. Tak hanya itu, terkuak bahwa ia dan suaminya bertanggung jawab atas serangkaian rencana teror.
Jones adalah perempuan berusia 49 tahun dan ibu dari dua anak. Ia berasal dari Kent, Inggris dan kini menjadi 'target utama' pencarian Pentagon di Suriah.
Advertisement
Si suami, Junaid Hussain rocker punk gagal dan mengklaim sebagai hacker asal Birmingham sudah tewas karena serangan drone AS di Raqqa pada 2015. Demikian seperti dikutip dari Daily Mail, Senin (8/5/2017).
Salah satu aksi bengis kedua pasangan itu adalah terlibat penculikan tentara AS dan memenggal kepalanya sambil merekam adegan itu.
Rencana aksi terorisme lainnya adalah merekrut remaja untuk menjadi penembak massal di sebuah kelab malam atau konser.
Jones mengakhiri karirnya yang nelangsa sebagai penyanyi punk untuk jadi mualaf sebelum akhirnya bergabung dengan ISIS pada 2013.
Ia mengaku ingin menjadi bomber bunuh diri. Hal itu ia ungkapkan dalam sebuah pesan bertuliskan, "Aku tahu apa yang aku lakukan. Surga memiliki harga dan aku berharap tindakanku diganjar oleh surga."
Dipercaya Jones telah berhasil merekrut puluhan perempuan untuk bergabung ISIS. Ajakannya itu ia lakukan lewat media sosial sebelum akhirnya akunnya ditutup.
Jones juga dipercaya menggunakan anak laki-lakinya Jojo yang berusia 11 tahun sebagai tameng hidup.
Setelah suaminya tewas, ia diduga menerima gaji dari ISIS sebanyak 520 pound sterling tiap bulannya. Dan tiap dua bulan ia menerima 200 pounds sebagai bonus telah menjadi janda martir.
Menurut sebuah laporan, Jones belum menikah lagi karena, "ia terlalu tua sementara para tentara ISIS menginginkan wanita muda."
Dijatuhi Sanksi PBB
Pada Oktober 2015, Jones bersama empat warga Inggris lainnya dijatuhi sanksi PBB.
Menurut kantor PM Inggris, ini adalah kali pertama warganya dimasukkan ke dalam daftar tersebut dalam 10 tahun terakhir.
Pemerintah Inggris mengambil langkah drastis untuk meminta PBB melakukan pemberian sanksi tersebut. Hukuman tersebut antara lain larangan perjalanan dan pembekuan aset. Hal ini dilakukan oleh Downing Street di tengah meningkatnya kewaspadaan bahwa ratusan warga Inggris tergoda untuk melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah.