Liputan6.com, Paris - Kandidat independen Emmanuel Macron memenangkan putaran kedua pemilihan presiden Prancis dengan telak. Macron jauh mengalahkan capres dari partai sayap kanan, Marine Le Pen, dengan perolehan suara 65,6 persen melawan 34,5 persen.
Macron akan menjadi presiden termuda pertama di Prancis di usianya yang baru 39 tahun. Ia juga juga menjadi orang pertama Negeri Mode dari "luar" dua partai tradisional semenjak 1958.
Advertisement
Dikutip dari BBC, Senin (8/5/2017), Macron mengatakan kemenangannya adalah halaman pertama dalam sejarah Prancis.
"Saya ingin menjadi halaman yang berisi harapan dan memperbaharui kepercayaan," kata Macron. Ia juga mengatakan bahwa ia mendengar suara sumbang kekhawatiran dan keraguan terkait kepemimpinannya.
"Saya bersumpah akan menghabiskan lima tahun untuk melawan kekuatan yang selama ini menyepelekan Prancis. Saya juga menjamin persatuan negara ini, serta melindungi dan membela Eropa," lanjut presiden kelahiran 21 Desember 1977 itu.
Dengan perhitungan suara mencapai 93 persen pada pukul 01.00 waktu Jakarta, Senin 8 Mei 2017, Macron meraih 19,3 juta suara. Sementara Le Pen hanya 10,4 juta suara. Hal itu diumumkan oleh Kementerian Dalam Negeri Prancis.
Setelah kemenangan diumumkan, ribuan pendukung Macron berkumpul di depan Museum Louvre di pusat Kota Paris. Tak berapa lama, Macron turut bergabung bersama mereka.
Dalam pidato kemenangannya Macron berkata, "Malam ini Anda menang, orang Prancis. Banyak yang mengatakan kita tak mungkin menang. Tapi mereka tak tahu seperti apa orang Prancis itu."
Suami Brigitte Trogneux itu berulang kali mengatakan kepada para pendukungnya bahwa tugas berat telah menanti dan Prancis adalah negara besar.
"Kita punya kekuatan, energi dan kemauan dan kita tak akan menyerah pada ketakutan," ujar Macron.
Saat Macron menyebut tentang lawannya, Le Pen, suara ejekan keras terdengar. Macron mengatakan bahwa akan memastikan bahwa di masa depan tak akan ada alasan bagi warga Prancis untuk memilih ekstremisme.
Macron adalah sosok liberal sentris, pro bisnis, dan pendukung kuat Uni Eropa.
Ia meninggalkan partai sosialis pemerintah yang dipimpin Presiden petahana Prancis, Francois Hollande, pada Agustus tahun lalu dan membuat organisasi En Marche. Saat itu ia mengatakan kelompoknya bukan sayap kiri atau kanan.
Isi kampanye Macron adalah janji untuk mengurangi 120 ribu pekerjaan di sektor publik. Memotong anggaran umum sekitar US$ 65 miliar dan mengurangi pengangguran hingga di bawah 7 persen.
Macron juga berjanji melindungi buruh dan perlindungan baru bagi para wirausahawan. Ia juga sangat mendukung platform Uni Eropa, hal yang sangat kontras dengan lawannya.
Sementara pemilu putaran kedua berlangsung, dilaporkan keamanan ketat dilakukan di ibu kota. Ada sejumlah insiden kecil tentang polisi yang menembakkan gas air mata ke beberapa ratus demonstran anti-kapitalis di dekat metro Ménilmontant.
Le Pen Berterima Kasih
Sementara itu, kandidat capres Marine Le Pen yang kalah telak dari Macron mengucapkan banyak terima kasih kepada 11 juta pemilihnya.
Capres perempuan Prancis itu mengatakan bahwa pemilihan umum kali ini telah menunjukkan perpecahan antara "patriot dan globalis" dan menyerukan dimulainya kekuatan politik baru.
Le Pen mengatakan, partai Front Nasionalnya perlu memperbarui dirinya sendiri dan dia akan memulai transformasi mendalam di tubuh partai itu. Ia juga berjanji untuk memimpinnya ke dalam pemilihan parlemen yang akan datang.
Le Pen juga mengatakan bahwa dia berharap agar Macron sukses dalam mengatasi "tantangan besar" yang dihadapinya.
Ada suara "huuu..." saat proyeksi diumumkan. Namun, beberapa saat kemudian tenang dan hening kala melihat angka dukungan Le Pen disusul oleh Macron.
Melihat hal itu, para pendukung menyanyikan lagu nasional kebangsaan Prancis. Banyak yang membawa mawar berwarna biru - simbol pilihan Marine Le Pen.
Kekalahan Le Pen tidak terlalu mengejutkan fakta bahwa tempat kecil pertemuan antara Le Pen dan pendukungnya, merupakan indikasi bahwa tim kampanye tersebut menduga akan kalah.
Ada sorak-sorai untuk Marine Le Pen saat menyampaikan pidatonya. Dalam sebuah wawancara setelah itu, seorang pejabat senior partai menjelaskan kepada wartawan BBC bahwa sebuah gerakan baru sekarang akan terbentuk - dia tidak memberi nama untuk itu.
Setelah menyelesaikan wawancara dengan BBC, pejabat itu mengangkat gelas sampanye dan berkata, "Vive la France".