Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) terus berupaya menjalankan amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerapkan Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga atau program BBM satu harga di 145 wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal atau 3T di seluruh Indonesia. Anggaran untuk menjalankan komitmen tersebut lebih dari Rp 2 triliun per tahun.
Direktur Pengolahan Pertamina, Toharso mengungkapkan, produksi BBM Pertamina jenis Solar dan Premium didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk ke daerah 3T.
Namun kini, program pemerintah menyeragamkan harga BBM sama dengan harga BBM penugasan, yakni Solar Rp 5.150 per liter dan Premium Rp 6.550 per liter.
Baca Juga
Advertisement
"Ngangkut BBM ke 3T sulit, pakai pesawat kecil, ada baling-balingnya. Sebutannya Air Tractor, karena pesawat ini ngangkut BBM (Solar) isinya 4 ton di perut pesawat. Tidak boleh kebanyakan juga," kata Toharso saat paparan di acara Media Gathering di Hotel Hermitage, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Toharso menjelaskan, untuk mengangkut BBM ke perbatasan Kalimantan misalnya, membutuhkan biaya Rp 38 ribu per liter.
Ongkos itu untuk menyewa pesawat, membayar pilot yang tidak kecil. BBM sebanyak 4 ton atau 4.000 liter ini diangkut dari Tarakan ke perbatasan ke Kalimantan.
"Pesawat tidak bisa sekali angkut, bolak balik dua kali. Tujuannya satu, supaya BBM di perbatasan Kalimantan dijual sama dengan harga BBM penugasan, yaitu Solar Rp 5.150 dan Premium Rp 6.550 per liter," dia menerangkan.
Dia menegaskan, ongkos angkut BBM untuk program BBM satu harga murni dana Pertamina. Lantaran, perusahaan ditugaskan untuk menyamakan harga BBM di 145 lokasi seluruh Indonesia dengan perkiraan biaya mencapai lebih dari Rp 2 triliun per tahun.
"Itu duit dari Pertamina, duit sedekahnya Pertamina, bukan duit subsidi. Kira-kira biaya satu tahun untuk program BBM satu harga di 145 lokasi seluruh Indonesia di atas Rp 2 triliun per tahun," jelas dia.
Toharso menambahkan, berdasarkan informasi dari Bagian Pemasaran, penerapan BBM satu harga baru akan menjangkau seluruhnya di 145 lokasi paling lambat 2019. "Tapi teman-teman di Pemasaran akan berupaya mempercepatnya," tutur Toharso.
Kini ia mengakui, kendala hanya satu, yakni kesulitan mencari pengusaha atau investor yang membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah 3T.
"Karena daerah terpencil, jalan darat tidak bisa, tidak ada yang mau jadi pengusaha atau investor SPBU di sana. Jadi SPBU-nya semacam penjual kebab pakai kontainer atau truk atau seperti Pertamini yang banyak menjamur di daerah," papar dia.
"Tapi kami harus menjalankan program ini, karena ini amanah pemerintah. Rakyat punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia," kata Toharso.