Liputan6.com, Jakarta Cita-cita menjadi psikolog terpaksa harus disingkirkan oleh wanita kelahiran Probolinggo, Jawa Timur ini. Sebab, sang ayah sudah menggiring Kartika Mayasari untuk berkarier sebagai dokter sejak dia masih duduk di bangku SD.
Derita anak pertama, begitu yang dilontarkan Kartika saat berbagi pengalamannya setelah delapan tahun berprofesi sebagai dokter kepada Health-Liputan6.com pekan lalu.
Advertisement
Sejak kecil Kartika sudah diperkenalkan dunia kedokteran oleh ayah yang hingga kini masih berpraktik sebagai dokter umum di Surabaya. Apalagi sedari dia kecil, sang ayah juga buka praktik di rumah.
"Aku liat papaku kerja dari pagi sampai malam. Kalau pagi, papa ke rumah sakit dulu terus pulang sudah kerja lagi. Banyak banget pasien papa, sampai akhirnya aku mikir jadi dokter kayak papa enak juga ya, di rumah aja banyak yang nyamperin," kata Kartika.
Arahan sang ayah semakin nyata ketika wanita yang doyan olahraga ini masuk SMA. Saat penjurusan kelas, ayah Kartika langsung meminta kepada wali kelas agar dirinya masuk kelas IPA. Lebih beruntungnya lagi nilai Kartika kala itu memenuhi standar untuk masuk jurusan IPA.
Rasa ketertarikan Kartika dengan dunia kedokteran mulai timbul saat ia belajar biologi dan kimia. "Aku dapat guru yang enak ngajarinnya. Ngajarin tentang tubuh manusia, jadi karena senang sama gurunya jadi nerima (pelajarannya) gampang dan senang," ujarnya.
Universitas Airlangga (UNAIR) akhirnya menjadi pilihan Kartika untuk mendapatkan gelar dokter. Kebetulan dokter berparas ayu ini memang lahir dan tinggal di Jawa Timur, sampai dia menyelesaikan pendidikannya.
Temui pasien lepra yang tidak berobat
Banyak pengalaman berkesan bagi Kartika selama menjalani pendidikan dokter umum di UNAIR. Apalagi saat dua tahun menjalani koas pada 2007 lalu.
Ada waktu dua bulan selama koas, Kartika harus memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah pedalaman di sekitar Jawa Timur. Saat itu Jombang menjadi daerah yang harus didatanginya. Namun, yang berbeda dia harus melayani masyarakat secara langsung dari rumah ke rumah.
"Ada di kampung di pedalaman Jombang, di sana itu enggak ada rumah sakit. Dan keterbatasan orang di sana untuk ke rumah sakit itu karena jaraknya tidak terjangkau, akses ke kampung itu harus dengan jalan kaki," Kartika menceritakan.
Lepra atau kusta, diare dan demam berdarah dengue (DBD) menjadi kasus yang sering ditemui oleh Kartika kala itu. Ironisnya, pasien lepra di sana tidak pernah berobat sama sekali. Padahal, penyakit tersebut bisa dengan mudah menular kepada orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah.
"Di sana mereka banyak yang lepra dibiarin aja gitu, enggak diobati. Padahal kalau didiemin aja kan bisa nularin ke orang lain. Mereka selalu intens bertemu dengan orang-orang lain dengan kondisi kusta," ujarnya.
Wilayah yang kumuh di kampung tersebut juga menyebabkan anak-anak mengalami diare. Bahkan, hampir semua pasien anak diare dan DBD dibiarkan begitu saja oleh orangtua. Setiap hari, Kartika bersama tiga dokter koas lainnya harus memeriksa kondisi rumah pasien. Terutama bagi pasien DBD.
"Kalau sudah wabah DBD kan kita harus lihat kamar mandinya, terus juga rumah-rumahnya diperiksa," ungkap dokter cantik ini.
Advertisement
Jaga 51 pasien semalam
Setelah dua bulan, Kartika kembali menjalankan program koas di RSUD Dr. Soetomo. Kali ini tak kalah berkesan dengan cerita di Jombang, dia dapat giliran menjaga 51 pasien dalam semalam.
Saat itu Kartika harus berjaga malam sendiri di ruang internal wanita. Tidak ada rekannya, kecuali seorang dokter yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis. Meski menjaga pasien tidak seseram masuk ke kamar mayat, tapi setiap satu jam Kartika harus melakukan pengecekan khususnya pada pasien diabetes.
"Dari 51 orang itu ada lebih dari 20 pasien diabetes yang setiap jam gula darahnya harus dicek karena harus disuntikin insulin. Satu pasien 10 menit aja belum tentu cukup, ini pasiennya ada 20. Satu malam enggak selesai sendirian, enggak bisa istirahat, enggak tidur," katanya sambil tertawa geli.
Itu belum seberapa. Ada hal terberat sekaligus berharga yang telah Kartika lalui saat koas, yaitu saat menjalani pendidikan di stase bedah selama tiga bulan.
Kartika menjelaskan ritme bekerja di stase bedah itu 24 jam jaga dan 12 jam istirahat. Tiap kali menangani satu pasien, dia harus berdiri tujuh hingga 12 jam.
"Yang paling berat itu kalau bedah saraf. Buka tempurung kepala aja butuh waktu berjam-jam karena harus pake gergaji kan, apalagi pas nyambung saraf-sarafnya. Kalau asistenin itu mending pura-pura sakit perut," jawabnya sambil tertawa.
Di balik kesusahan, rupanya berbuah indah. Kartika berkesempatan untuk melakukan operasi bedah plastik pertama di Indonesia. Dia dipercaya ikut menangani kasus Siti Nur Jazilah--korban penyiraman air keras oleh suaminya--yang sempat menggemparkan tanah air. Kerusakan wajah yang dialami Siti cukup parah. Bahkan, dia harus menjalani operasi berkali-kali.
Operasi bedah plastik Siti juga didanai oleh pemerintah untuk pembelajaran. Bahkan, Kartika bercerita, Siti harus tidur di tempat tidur khusus dari pasir seharga Rp25 juta, lantaran operasi plastik wajahnya menggunakan sel kulit dari punggungnya sendiri.
"Setiap bulan dia (Siti) operasi terus, aku ikut ngerawat dia selama tiga bulan dan dia harus tidur di tempat tidur pasir gitu kan biar sel di punggung yang diambil bisa tumbuh lagi," ujar Kartika.
Ingin seperti papa
Usai mendapat gelar dokter dan resmi disumpah dokter, Kartika sempat berpraktik di RS Budi Asih, Jakarta. Tapi hanya dua tahun dia berpraktik, karena tidak tega meninggalkan sang anak.
"Kalau dokter umum kan harus jaga malam, aku enggak mau ninggalin anak aku," katanya.
Masih banyak cita-cita yang ingin ia capai. Rencananya, Kartika akan mengambil spesialisasi kulit di Universitas Padjadjaran, Bandung. Menurutnya, di era yang semakin maju dan berkembang ini, masyarakat khususnya wanita sangat peduli dengan kesehatan kulit.
"Aku pengin bangun klinik sendiri, pengin kayak papa. Kerja tapi di rumah, enggak harus capek-capek macet, dan bisa tetap ngedampingin anak-anak juga," kata dokter Kartika sambil tersenyum.
Advertisement