Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengumumkan pembubaran organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pengumuman pembubaran ini setelah HTI menjadi sorotan karena ingin menegakkan khilafah di Indonesia.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan pembubaran tersebut telah melalui proses pengkajian. Wiranto menegaskan seluruh ormas di Indonesia harus berada dalam koridor hukum dan bermuara pada ideologi Pancasila dan UUD 1945, baik tujuan, ciri, maupun asas.
Advertisement
"Ini merupakan kajian yang komprehensif dari berbagai kementerian dan lembaga dalam lingkup Kemenko Polhukam RI," kata Wiranto usai rapat terbatas tingkat menteri di jajaran Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin 8 Mei 2017.
Wiranto menjelaskan pemerintah punya alasan khusus sampai akhirnya mengambil keputusan pembubaran HTI. Salah satunya, kegiatan HTI dinilai dapat membahayakan keutuhan NKRI.
"Aktivitas yang dilakukan HTI nyata-nyata telah menimbulkan benturan di tengah masyarakat, yang pada gilirannya mengancam keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI," ujar dia.
Selain itu, selama berdiri di Indonesia, HTI tidak melaksanakan peran positif dalam mengambil bagian pada proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kemudian, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
"Mencermati pertimbangan di atas serta menyerap aspirasi, pemerintah perlu mengambil langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI," ucap Wiranto.
Dia menegaskan, dengan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, bukan berarti pemerintah anti ormas Islam. Namun, langkah ini diambil untuk menjaga keutuhan NKRI.
Wiranto mengatakan, setelah pengumuman tersebut, pemerintah akan mengajukan pembubaran HTI ke pengadilan.
"Kita membubarkan tentu dengan langkah hukum dan berdasarkan hukum. Oleh karena itu, akan ada proses pengajuan kepada suatu lembaga peradilan," kata Wiranto.
Wiranto memastikan pemerintah tidak akan sewenang-wenang dalam memutuskan sesuatu. Pemerintah tetap pada koridor hukum, termasuk dalam hal membubarkan HTI.
"Pasti langkah itu harus dilakukan semata-mata mencegah berbagai embrio yang dapat berkembang dan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, yang ujungnya mengganggu eksistensi kita sebagai bangsa yang sedang berkembang, sedang berjuang dalam mencapai tujuan nasional masyarakat adil dan makmur," papar Wiranto.
Sikap HTI
Sementara itu, HTI menyesalkan sikap pemerintah yang berencana mengambil langkah hukum untuk membubarkan ormas tersebut.
"Kami sangat menyesalkan langkah atau keputusan yang diambil oleh pemerintah. Karena HTI ini adalah ormas yang legal, kami perkumpulan yang sudah melakukan aktivitas dakwah di negeri ini lebih dari 20 bahkan 25 tahun," kata Juru Bicara HTI Ismail Yusanto di Kantor HTI, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (8/5/2017).
Ismail mempertanyakan sikap pemerintah yang membubarkan HTI. Sebab, ormas itu tidak pernah menimbulkan persoalan hukum.
"Kami berdiri secara legal, tertib, damai, dan praktis hampir tidak pernah kami menimbulkan persoalan hukum. Apa yang disampaikan pemerintah (pembubaran HTI) mengundang pertanyaan besar apa yang terjadi, apa yang dipersangkakan kepada kami?" tanya dia.
Ismail juga mengatakan, tindakan pemerintah yang berencana membubarkan ormas tersebut merupakan tindakan semena-mena. Dia menilai tudingan dari pemerintah pun mengada-ada.
"Kami berharap langkah ini tidak dilanjutkan, karena menghentikan dakwah. Bukan hanya bertentangan dengan UU, tapi bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Ini sesuatu yang sangat tragis," tegas Ismail.
Dia mengatakan, kini HTI akan terlebih dahulu mencermati proses-proses yang dilakukan pemerintah. Setelah itu, HTI akan mengambil tindakan lebih lanjut.
Ismail menegaskan, pembubaran suatu ormas hanya boleh dilakukan dalam pengadilan dan melalui proses persidangan. Pembubaran tidak bisa hanya melalui pidato seorang menteri.
"Artinya (pembubaran ormas) harus sampai kepada Mahkamah Agung dan bisa diproses bila sudah ditempuh tahapan-tahapan," tutur dia.
Tahapan itu, lanjut Ismail, harus melalui Surat Peringatan (SP) 1, SP 2, SP3. Setelah itu, suatu ormas baru bisa dibubarkan. Sedangkan, HTI belum pernah menerima surat peringatan.
"Pemerintah tidak mengikuti tahapan itu. Kan berarti pemerintah melanggar hukum," kata dia.
Ismail juga memastikan, dakwah yang dilakukan HTI tidak bertentangan dengan Pancasila. Ajaran khilafah yang disebarkan HTI kepada masyarakat, kata dia, sudah sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
"Tidak ada ideologikhilafah, yang ada ajaran Islam. Islam terpecah karena ada tanggapan Islam yang salah. Karena itu kita setuju KH Hasyim Ashari adalah Islam pemersatu. Islam adalah substansi nomor satu," tandas Ismail.
Tanggapan Pembubaran HTI
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengapresiasi keputusan pemerintah membubarkan HTI. Menurut dia, hal tersebut merupakan langkah tepat karena HTI terbukti merongrong keutuhan NKRI dengan hendak mengganti Pancasila dengan Khilafah.
"Itu merupakan kebijakan yang sangat tepat. PBNU mengapresiasi dan mendukung apa yang dilakukan pemerintah," kata Said Aqil di Jakarta, seperti dikutip dari laman nu.or.id, Senin (8/5/2017).
Said mengungkapkan HTI merupakan organisasi yang jelas bertentangan dengan ideologi Negara Indonesia yaitu Pancasila. Ia mengatakan, apa pun organisasi yang berusaha mengganti Pancasila hendaknya dibubarkan dan dilarang.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah tersebut juga menyampaikan terima kasih kepada pemerintah karena sudah membubarkan organisasi transnasional tersebut.
Dia mengatakan, yang harus dilakukan sekarang yaitu bagaimana aktivis dan simpatisan HTI tersebut dikelola dan dibina agar tidak menjadi liar dan tidak melakukan tindakan-tindakan radikal.
Menurut Said Aqil, para aktivis HTI harus diberikan pencerahan dan pemahaman tentang sejarah Indonesia, serta kiprah ulama-ulama dalam merebut dan menjaga kemerdekaan.
Umat Islam Indonesia, kata dia, sudah tidak perlu lagi mengotak-atik dasar negara Pancasila. "Kita tinggal menerima dari leluhur kita, tinggal kita isi dengan semangat membangun," ucap dia.
Said Aqil berharap Indonesia akan tetap utuh dan bersatu jika pemerintahnya bersikap tegas. Ia juga menyatakan, NU akan selalu berada di belakang pemerintah yang sah.
Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor juga mengapresiasi langkah pemerintah untuk membubarkan HTI. Ketua PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menilai segala bentuk upaya mengubah Pancasila di NKRI harus dilawan.
"Apresiasi atas ketegasan sikap pemerintah membubarkan HTI. Bagi Ansor segala upaya mengganti Pancasila harus dilawan, baik secara hukum maupun sosial," ujar Yaqut di Kantor GP Ansor, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Yaqut menjelaskan, Indonsia dibangun di atas fondasi keberagaman, bukan dari keseragaman yang selama ini didengungkan HTI lewat khilafahnya.
"Ini bukan semata-mata pembubaran ormas. Tapi sikap kami pada bangsa dan agama. Kita semua bertanggung jawab atas keberlangsungan NKRI dan Pancasila," tegas dia.
Ketua Wahid Institute Yenny Wahid juga mengapresiasi langkah pemerintah yang membubarkan organisasi masyarakat HTI. Menurut Yenny, siapapun atau organisasi manapun yang bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945 harus dibubarkan.
"Iya setuju. Kalau ada ormas bertentangan dengan konsep NKRI dibubarkan. Saya rasa konsep NKRI dan Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama sejak awal," kata Yenny Wahid kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid itu juga menegaskan, kehidupan berbangsa di Indonesia yang berdasarkan atas Pancasila dan NKRI sudah menjadi harga mati.
"Semangat kebinekaan harus dijaga. Kuatkan nilai-nilai kebaikan dan kebinekaan. Kalau mau berjuang (mengubah sistem Pancasila ke Khilafah) silakan ke DPR jadi parpol," imbuh dia.
Beberapa waktu lalu, Sekretaris Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, pembubaran organisasi masyarakat (Ormas) harus melalui pengadilan.
"Penanganan masalah HTI tidak bisa pendekatan dengan represif. Kalau mereka dianggap melanggar bisa lewat persidangan. Maka pembubaran ormas harus lewat pengadilan," kata Mu'ti di kantornya, Jakarta, Selasa 2 Mei 2017.
Mu'ti menilai, berdirinya HTI karena imbas tidak meratanya pembangunan berkeadilan. Sampai kapanpun jika masih ada ketimpangan di masyarakat, akan muncul organisasi-organisasi yang menganut dan berkeinginan mengubah dasar negara.
"Munculnya HTI kan imbas dari dunia yang terbuka. HTI ini kan sejak awal inginkan sistem khilafah. Mereka lihat demokrasi yang sekarang muncul dianggap gagal. Sepanjang kita belum berhasil dengan sistem Pancasila berkeadilan dan menjadi negara ideal, akan senantiasa muncul," ujar dia.
Mu'ti menambahkan, saat ini semua komponen bangsa harus bisa meyakinkan berbagai pihak, bahwa sistem Pancasila yang berkeadilan bukan sekadar ucapan di atas panggung atau mimbar.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pemerintah tidak begitu saja dapat membubarkan ormas berbadan hukum dan berlingkup nasional, kecuali lebih dahulu secara persuasif memberikan surat peringatan selama tiga kali.
Jika langkah persuasif tidak diindahkan, barulah pemerintah dapat mengajukan permohonan untuk membubarkan ormas tersebut ke pengadilan.
Dalam sidang pengadilan, ormas yang akan dibubarkan pemerintah tersebut, diberikan kesempatan untuk membela diri dengan mengajukan alat bukti, saksi, dan ahli untuk memberikan keterangan di depan persidangan. Keputusan pengadilan negeri dapat dilakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung.
"Sehubungan dengan rencana Pemerintah sebagaimana dikemukakan Menko Polhukam Wiranto untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI, saya berpendapat, pemerintah harus bersikap hati-hati, dengan lebih dulu menempuh langkah persuasif baru kemudian menempuh langkah hukum untuk membubarkannya," kata dia dalam keterangan tertulisnya.
Dia mengatakan, langkah hukum itu pun benar-benar harus didasarkan atas kajian yang mendalam dengan alat bukti yang kokoh. Sebab jika tidak, permohonan pembubaran yang diajukan oleh jaksa atas permintaan Menkumham itu bisa dikalahkan di pengadilan oleh para pengacara HTI.
Advertisement
Gelombang Penolakan Khilafah HTI
Gelombang unjuk rasa pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI terlihat di daerah. Salah satunya dilakukan oleh ribuan pemuda dan pemudi GP Ansor se-Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Massa menolak dan mengecam keras ormas-ormas islam radikal yang menurut mereka bisa menggerogoti Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Di Riau, pada Jumat 7 April 2017, Gerakan Pemuda Ansor, Banser, dan kepolisian mencabut dan menyita beberapa spanduk yang dinilai merusak keutuhan NKRI. Spanduk-spanduk ini mengajak mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiyah di Indonesia.
Polisi juga membubarkan kegiatan Forum Khilafah Indonesia yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Hotel Grasia Semarang, Minggu, 9 April 2017, malam.
Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang, KH Yusuf Chudlori menilai, format kegiatan yang digagas HTI tersebut mengarah ke pembentukan negara Islam. "Ini berbahaya bagi NKRI," tambah Yusuf.
Sementara di Jakarta, kegiatan HTI bertemakan "Khilafah Kewajiban Syar'i Jalan Kebangkitan Umat" yang digelar di Gedung Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, pada Minggu, 23 April 2017 pukul 19.30 WIB hingga 23.00 WIB tidak diizinkan.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan alasan tidak diberikannya izin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyelenggarakan Forum Khilafah Internasional di Jakarta. Menurut Tito, acara tersebut rawan menimbulkan potensi konflik.
"Kami memang tidak mengeluarkan izin STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan)-nya. Karena banyak potensi konfliknya. Jadi lebih baik kita larang. Polisi kan tugasnya untuk mencegah konflik, maka janganlah," ujar Tito di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 28 April 2017.
Tito mengatakan pihaknya bersama Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan terus berkoordinasi terkait perkembangan HTI. Pasalnya, konsep khilafah yang terus dikemukakan HTI bertentangan dengan ideologi Pancasila.
"Sedang dibicarakan di Polhukam. Kalau seandainya itu dilakukan (menegakkan) khilafah, ya itu bertentangan dengan ideologi Pancasila. Kalau buat ideologi khilafah apa bisa (sesuai) Pancasila?" ucap Tito.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan, khilafah tidak cocok diterapkan di Indonesia karena negara ini sudah berbentuk republik.
"Indonesia kan sistemnya republik, pilar kebangsaan yang disepakati. Kita tak perlu bicara khilafah, sudah tak ada lagi," kata Ma'ruf Amin usai pembukaan Kongres Ekonomi Umat 2017 di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Sabtu 22 April 2017.
Ketua MUI itu menegaskan, tokoh Indonesia dari mahzab apa pun telah menyepakati sistem yang dipakai saat ini dan munculnya sistem baru justru akan menimbulkan gejolak baru.
"Sudah selesai kesepakatannya, sudah selesai. Ini kan gaduh karena ada kelompok baru yang inginkan sistem lain," kata Ma'ruf Amin menanggapi rencana penyelenggaraan International Khilafah Forum di Jakarta.