Liputan6.com, Jakarta - Setelah 21 kali persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan membacakan vonis kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok hari ini.
Sidang vonis Ahok ini akan berlangsung di Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Nasib Gubernur DKI Jakarta itu ada di tangan sang hakim, apakah dia akan dihukum atau dibebaskan.
Kasus ini bermula ketika Ahok menyebut Surat Al Maidah Ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 30 September 2016. Ahok dituduh menistakan agama. Pembicaraan Ahok itu kemudian tersebar luas di media sosial.
Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Ahok kepada kepolisian pada 7 Oktober 2016. Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim itu berisi laporan penghinaan agama. Ahok diduga telah melakukan tindak pidana penghinaan agama melalui media elektronik berupa YouTube.
Di tengah proses laporan itu, demonstrasi dan desakan dari masyarakat bermunculan di berbagai wilayah. Puncaknya terjadi di Jakarta pada 4 November 2016. Aksi besar-besaran itu membuat Ahok ditolak saat kampanye Pilkada DKI 2017 di sejumlah wilayah Jakarta.
Advertisement
Ia bahkan harus melarikan diri dari kejaran massa saat kampanye di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Pengadangan Ahok beberapa kali terjadi saat kampanye, begitu juga dialami pasangannya, Djarot Saiful Hidayat.
Sebagian umat muslim menuntut polisi agar segera memproses perkara Ahok dengan tuduhan penistaan agama. Ahok pun berkali-kali bersedia menjalani pemeriksaan di kepolisian. Dia juga berusaha meminta maaf kepada masyarakat secara terbuka.
Namun, gerakan massa kian masif sehingga kepolisian menganggap hal itu sebagai gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Presiden Joko Widodo pun turun tangan. Ia menginstruksikan kepada Kapolri untuk segera memproses kasus Ahok dengan cara terbuka dan transparan.
Gelar Perkara Terbuka
Sebelas hari setelah aksi besar pada November 2016, polisi melakukan gelar perkara di Mabes Polri secara terbuka tetapi terbatas. Awalnya, gelar perkara itu terbuka untuk umum, tapi pada pukul 09.00 WIB tertutup hingga pukul 18.00 WIB.
Pada gelar perkara itu, kedua belah pihak, baik pihak yang melapor ataupun pihak terlapor, diundang. Dari pelapor, hadir sejumlah ahli, termasuk di antaranya pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, yang lantang dan terus menerus memimpin aksi massa besar-besaran.
Kompolnas dan Ombudsman juga hadir dalam gelar perkara itu. Namun, Ahok tak hadir dan diwakili penasihat hukumnya, Sirra Prayuna, serta sejumlah pengacara dan ahli. Ahli dari pihak Ahok bahkan datang dari luar kota.
"Saksi Ahli Tafsir dari Pak Ahok dari Cirebon dan Yogyakarta," ujar Guntur Romli yang kala itu tergabung dalam tim sosialisasi dan kampanye Ahok - Djarot, Guntur Romli.
Jadi Tersangka
Setelah gelar perkara, persisnya pada 16 November 2016, polisi resmi menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama, meskipun ada perbedaan pendapat polisi dalam gelar perkara tersebut.
"Meskipun tidak bulat, perkara ini harus diselesaikan di peradilan yang terbuka. Konsekuensinya akan ditingkatkan ke proses penyidikan dengan menetapkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai tersangka," kata Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto di Mabes Polri, Jakarta, Rabu 16 November 2016.
Ahok disangkakan melanggar Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Polisi menetapkan tak menahan Ahok karena ia dianggap kooperatif.
Ahok merespons penetapan dirinya sebagai tersangka itu dengan tenang. Ia bahkan tak berniat mengajukan praperadilan. Bahkan, Ahok mendapatkan dukungan dari empat partai pengusungnya dalam Pilkada DKI 2017 yakni PDIP, Nasdem, Hanura, dan Golkar.
Empat partai itu tak mencabut dukungan mereka dalam Pilkada DKI 2017. Bahkan, keempatnya semakin teguh mendukung Ahok maju sebagai gubernur untuk periode berikutnya.
Pemeriksaan Pertama
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Ahok menjalani pemeriksaan pertamanya pada 22 November 2016. Ia diperiksa di Bareskrim Polri selama delapan jam lebih dengan 22 pertanyaan yang diajukan penyidik.
Tiga hari setelah Ahok diperiksa, polisi langsung melimpahkan berkas kasus terkait dugaan penodaan agama ini ke Kejaksaan Agung pada 25 November 2016. Lima hari setelah diterima Kejaksaan Agung, berkas perkara itu dinyatakan lengkap atau P21.
Dengan keputusan Kejaksaan Agung tersebut, perkara Ahok pun resmi masuk ruang persidangan. Dengan pertimbangan locus delicti atau lokasi kejadian perkara, maka persidangan Ahok digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Namun, dalam prosesnya dengan alasan keamanan dan tempat yang lebih memadai, maka sidang Ahok digelar di Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Awal Desember 2016, berkas Ahok diserahkan Mabes Polri ke Kejaksaan Agung, tetapi karena dianggap tak akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, Ahok tak turut serta diserahkan atau ditahan.
Hal itu dipertegas dengan keputusan Kejaksaan Agung yang menetapkan tak menahan Ahok karena dua pertimbangan, yakni penyidik telah mengajukan pencekalan Ahok ke luar negeri dan Ahok bersikap kooperatif.
Karena Ahok tak ditahan, sebagian umat Islam tersulut. Sejumlah organisasi masyarakat kembali turun ke jalanan secara besar-besaran. Bahkan, berbagai aksi terjadi di beberapa titik.
Pusat aksi terjadi di Monas dan sekitarnya. Puluhan ribu orang menggelar doa bersama. Aksi damai itu diisi doa bersama untuk mendoakan NKRI. Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, beberapa Menteri, Panglima TNI, dan Kapolri pun turut mendatangi aksi ini.
Sementara, Ahok sendiri tak keluar dari rumahnya. Bahkan, dia mengunggah foto dirinya yang tengah bercengkerama dan tersenyum bersama keluarga dengan latar belakang siaran televisi soal aksi damai tersebut.
Doa bersama itu diapresiasi oleh petinggi negara dan berbagai pihak. Presiden Jokowi mengucapkan terima kasih beberapa kali kepada para demonstran. Tuntutan doa bersama itu meminta agar Ahok ditahan, tapi aksi protes itu tak memengaruhi kepolisian. Ahok tetap bebas dan melakukan jadwal kampanye.
Untuk persiapan persidangan, ada 13 Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan dipimpin lima hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kelima hakim itu adalah Dwiarso Budi Santiarto S sebagai ketua majelis hakim, dengan hakim anggota Jupriadi, Abdul Rosyad, Joseph V Rahantoan, dan I Wayan Wirjana.
Advertisement
Sidang Perdana
Persidangan perdana Ahok berlangsung pada 13 Desember 2016 yang digelar di bekas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Pengamanan superketat pun dilakukan demi menjaga keamanan sidang.
Sidang perdana itu beragendakan pembacaan dakwaan Ahok. Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP karena diduga menodakan agama. Dakwaan itu ditanggapi kubu Ahok dengan nota keberatan atau eksepsi.
Tim kuasa hukum Ahok menganggap proses hukum kliennya tak lagi murni untuk mencari kebenaran karena telah dipengaruhi tekanan publik. Dalam pembacaan eksepsinya Ahok menangis. Persidangan Ahok menjadi panjang lantaran pemeriksaan saki-saksi dari jaksa dan terdakwa berjumlah puluhan.
Pada sidang ke-19 dengan agenda pembacaan tuntutan, Kamis 20 April 2017, JPU menyatakan Ahok bersalah. Atas nama hukum, jaksa menuntut Ahok dihukum 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun.
Dengan tuntutan itu, Ahok tak perlu mendekam di balik jeruji penjara. Ia tak perlu menjalani masa hukumannya. Namun, jika Ahok melakukan tindak pidana, maka ia dipenjara selama satu tahun dan ditambah dengan pidana apa yang dia langgar selama dua tahun masa percobaan itu.
Berbeda dengan dakwaan, jaksa hanya memakai Pasal 156 KUHP untuk menuntut Ahok. Sementara, pada awal persidangan, Ahok didakwa melanggar Pasal 156 dan 156a KUHP.
Ketua JPU Ali Mukartono beralasan pihaknya hanya memakai Pasal 156 itu karena Ahok baik, kooperatif, dan pernah punya buku Merubah Indonesia. Isi buku itu, kata Ali, berbicara soal surat Al Maidah ayat 51 yang ia kutip di Kepuluan Seribu.
Dalam buku itu, Ali menjelaskan maksud Ahok membohongi pakai surat Al Maidah ayat 51 itu adalah para oknum elite politik. Itu beberapa hal yang meringankan Ahok dalam persidangan.
Sementara, menurut JPU hal yang memberatkan Ahok selama persidangan, Ahok membuat kegaduhan sosial di tengah masyarakat dalam istilahnya adanya gangguan Kamtibnas.
JPU mengganggap kasus Ahok membuat kesalahpahaman di tengah masyarakat. Namun, menurut jaksa itu bukanlah kesalahan Ahok sepenuhnya.
Menurut jaksa, Ahok tetap lebih baik daripada Buni Yani dalam soal penyebab kegaduhan di masyarakat. Hal ini karena Buni Yani lah yang mengunggah video pidato Ahok ke Youtube hingga mengakibatkan keresahan masyarakat.
Video unggahan Buni Yani membantu Ahok meringankan hukumannya karena video itu dianggap sebagai biang kerok. Dengan unggahan video Buni Yani itu, masyarakat jadi tahu apa yang diucapkan Ahok.
Namun, Buni Yani dianggap bersalah karena memberikan transkrip dan tak utuh mengunggah videonya. Dalam proses peradilan lainnya, Buni Yani sudah menjadi tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA.
Tak hanya itu, menurut Jaksa, Ahok sudah banyak berjasa pada Ibu Kota Negara. Ia jadi gubernur paling banyak membuat perubahan dalam pembangunan Provinsi DKI Jakarta.
Jaksa merasa apa yang telah diperbuat Ahok sebagai gubernur sangat membantu masyarakat sehingga jaksa memasukkannya sebagai hal-hal yang meringankan tuntutan Ahok. Lalu, Ahok dinilai patuh dan mengikuti persidangan dengan baik serta bersikap sopan selama persidangan.
Pledoi Ahok
Pada sidang ke-21, Ahok diberikan kesempatan untuk membela dirinya melalui pembacaan pledoi di hadapan para hakim. Dalam pledoi yang berjumlah lima halaman itu, Ahok menganggap semua dakwaan soal penistaan agama itu tak benar.
Ahok juga bercerita tentang pengalamannya bertemu anak dari taman kanak-kanak. Saat bertemu itu, Ahok termangu ketika ia ditanyai sesuatu yang susah ia jawab. Kemudian, Ahok mengajak anak-anak itu untuk menonton film animasi Finding Nemo, lalu Ahok menjelaskan pesan moral dari film itu pada anak-anak TK.
Ahok mengatakan langkah yang Nemo lakukan harus diikuti ketika dia berjuang meski harus melawan arus. Walau berjalan melawan arus yang berlawanan dengan banyak orang, setiap manusia harus teguh pada pendiriannya.
"Semua tidak jujur enggak apa-apa, asal kita sendiri jujur. Mungkin setelah itu tidak ada yang terima kasih sama kita, kita juga tidak peduli karena Tuhan tidak menghitung untuk kita, bukan orang," tegas Ahok.
"Nah ini pelajaran dari film ikan Nemo, jadi bukan soal ketangkap ikannya itu tadi. Jadi orang tanya sama saya, kamu siapa? Saya bilang saya hanya seorang ikan kecil Nemo di tengah Jakarta seperti itu. Ini pelajaran untuk kita, lalu disambut tepuk tangan anak-anak," ungkap Ahok.
Ahok menjelaskan, tepuk tangan anak-anak kecil di akhir ceritanya itu seakan memberi kekuatan baru, yakni untuk terus berani melawan arus menyatakan kebenaran dan melakukan kebaikan sekali pun seperti ikan kecil Nemo.
"Karena saya percaya di dalam Tuhan segala jerih payah kita tidak ada yang sia-sia. Tuhan yang melihat hati, mengetahui isi hati saya," ucap Ahok.
"Saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta, yang akan terus menolong yang miskin dan membutuhkan. Walaupun saya difitnah dan dicaci maki, dihujat, karena perbedaan iman dan kepercayaan saya, saya akan tetap melayani dengan kasih," Ahok menandaskan.
Sementara pengacara Ahok, Trimoelja D Soerjadi menegaskan pledoi tersebut merupakan pernyataan Ahok bahwa dirinya bukanlah penista agama dan tak bermaksud untuk menistakan agama.
"Jadi kita bicara intinya menggarisbawahi bahwa dakwaan yang penodaan agama tidak terbukti. Tidak terbukti bahwa Basuki Tjahaja Purnama melakukan penodaan agama," ujar Trimoelja di Auditorium, Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa 25 April 2017.
Pledoi tersebut merupakan kesempatan terakhir Ahok di persidangan kasus dugaan penistaan agama. Sebab, hari ini majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan menetapkan vonis Ahok.
Advertisement