Sidang Ganjil Mencari Pembunuh Marsinah

Putusan pengadilan meyakinkan banyak pihak bahwa sejak awal penyidikan kasus pembunuhan Marsinah memang sudah kental dengan aroma rekayasa.

oleh Muslim AR diperbarui 09 Mei 2017, 18:35 WIB
Para buruh yang tergabung dalam berbagai serikat menggelar aksi memperingati 22 tahun tanpa keadilan "Malam Marah Marsinah" di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta, Jumat (8/5/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Persidangan kasus pembunuhan Marsinah ternyata sangat menyita perhatian publik. Tak heran, karena kasus ini telah menimbulkan kemarahan publik. Seorang wanita muda dan aktivis buruh dibunuh secara keji karena memperjuangkan hak-hak buruh, dipastikan bakal mengundang banyak simpati.

Jarak antara peristiwa pembunuhan dengan persidangan juga terbilang lama. Marsinah dibunuh pada 9 Mei 1993, sedangkan persidangannya baru dimulai pada November 1993. Bayangkan opini yang berkembang selama periode tersebut yang akhirnya membuat persidangan Marsinah menjadi tak ubahnya panggung teater, yang ditunggu-tunggu penonton.

Ada sembilan orang terdakwa yang akan disidangkan, terdiri dari petinggi serta karyawan PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang tak lain adalah perusahaan arloji tempat Marsinah bekerja sebelumnya.

Mereka adalah Yudi Susanto (pemilik PT CPS), Judi Astono (pimpinan pabrik PT CPS Porong), Suwono (Kepala Satpam PT CPS Porong), Suprapto (satpam PT CPS Porong), Bambang Wuryantoyo (karyawan PT CPS Porong), Widayat (karyawan dan sopir PT CPS Porong), Achmad Sutiono Prayogi (satpam PT CPS Porong), Karyono Wongso alias Ayip (Kepala Bagian Produksi PT CPS Porong).

Termasuk Mutiari (Kepala Bagian Personalia PT CPS Porong), satu-satunya perempuan yang ditangkap. Selain sembilan orang itu, Tim Terpadu juga menahan Komandan Rayon Militer (Dan Ramil) Porong Kapten Kusaeri, yang dianggap mengetahui kejadian namun tak melaporkan kepada atasan.

Persidangan digelar di dua lokasi, yaitu Pengadilan Negeri Sidoarjo dan Pengadilan Negeri Surabaya. Mutiari dan Judi Astono disidangkan di PN Sidoarjo, dan terdakwa lainnya disidangkan di PN Surabaya terkait dengan dakwaan bahwa Marsinah dibunuh para pelaku di kediaman Yudi Sutanto yang berdomisili di Surabaya.

Sidang perdana dimulai pada awal Oktober 1993 dengan pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum, sebagaimana lazimnya sebuah persidangan pidana. Dakwaan sendiri merujuk pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik kepolisian.

Pada persidangan Senin 29 November 1993, terdakwa Suwono dan Widayat memberikan kesaksian di depan majelis hakim. Inilah kali pertama publik mengetahui perjalanan kasus ini langsung dari para terdakwa, meski dalam BAP yang dibacakan jaksa semua itu sudah dibacakan.

Puluhan buruh wanita saat menggelar aksi memperingati 22 tahun tanpa keadilan "Malam Marah Marsinah”, Jakarta, Jumat (8/5/2015). Mereka menuntut pemerintah untuk mengusut pelanggaran HAM terhadap Marsinah(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Suwono dan Widayat, mereka ikut dalam rapat pada 5 Mei 1993 sore. Rapat itu dipimpin Yudi Susanto dan membahas kondisi produksi perusahaan sejak buruh terus berunjuk rasa. Rapat ini juga merencanakan pembunuhan terhadap Marsinah. Rapat itu berlanjut, namun yang jadi pimpinan rapat selanjutnya adalah Mutiari. Singkat cerita, rencana pembunuhan disepakati pada malam itu juga.

Widayat mendapat tugas sebagai sopir yang mengemudikan mobil Hijet 1000 milik perusahaan untuk membawa Marsinah, dari tempat kosnya di Porong sampai ke rumah Yudi Susanto di Surabaya.

Sedangkan pengakuan Suwono, dia bertugas menyekap dan mengikat Marsinah yang dibantu oleh Suprapto. Selama dalam perjalanan antara Porong ke Surabaya, Suwono dan Suprapto tak menganiaya Marsinah. Namun, setelah Marsinah curiga dan memberontak dan minta dilepaskan, Suwono dan Suprapto mengikat kedua kaki dan kedua tangannya ke kursi mobil dan menyumbat mulut korban.

Setelah sampai di rumah Yudi, Marsinah disekap di salah satu kamar pembantu. Marsinah didudukkan di kursi lipat dalam keadaan terikat dan mulut tersumbat. Di tempat inilah Marsinah kemudian disiksa dan dipukuli.

Seperti ditulis Kompas edisi 30 November 1993, Widayat juga yang memukul Marsinah dengan alat berupa potongan besi hingga korban sekarat. Widayat kemudian mendapat tugas menyopiri mobil yang sama untuk membuang mayat korban ke Nganjuk.

Kembali pada pengakuan Suwono, saat akan membuang Marsinah pada malam itu, kondisinya dalam keadaan sekarat. Saat itulah, kata Suwono, Yudi Susanto menyuruhnya memukul kepala Marsinah dengan besi. Tak hanya Suwono, Suprapto, dan Budi Wuryanto juga turut memukuli Marsinah.

Setelah dipastikan meninggal, jasad Marsinah dibuang. Jenazahnya ditaruh di jok belakang mobil. Budi Wuryanto bertugas jadi penunjuk jalan. Mereka membuang mayat Marsinah di sebuah gubuk di hutan jati Wilangan, Nganjuk. Agar tak mencurigakan, mereka meletakkan jenazah Marsinah dalam posisi duduk.

Namun, belakangan pengakuan itu dibantah sendiri oleh semua terdakwa. Kejanggalan dan keanehan persidangan ini pun dimulai.

 


Pengakuan yang Mengejutkan

Berawal dari sidang yang menghadirkan terdakwa Mutiari pada Senin 20 Desember 1993, kejanggalan demi kejanggalan mulai terungkap. Para saksi yakni Yudi Susanto dan Karyono Wongso menyatakan, Mutiari tak ikut rapat pembunuhan Marsinah. Mereka juga menegaskan, rapat sebagaimana yang disebutkan saksi terdahulu, tak pernah ada.

Yudi Susanto yang dituduh sebagai aktor intelektual di balik penculikan dan pembunuhan Marsinah juga angkat bicara dan mengatakan, ia tak pernah memimpin rapat apa pun untuk membunuh Marsinah. Dia menyangkal pernah memimpin rapat atau memberi instruksi lewat telepon untuk membunuh Marsinah.

Padahal di awal-awal persidangan, Yudi Astono, Suprapto, Budi Wuryanto, Suwono, Widayat, dan AS Prayogi mengatakan Yudi Sutanto memimpin rapat rencana pembunuhan Marsinah pada 5 Mei. Rapat itu, kata mereka, juga diikuti Karsono Wongso dan Mutiari.

Pengakuan para terdakwa ini sempat membuat jaksa penuntut umum Buchari kala itu berang. Ia bahkan mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar Yudi Susanto dan Karsono Wongso disidik karena memberi keterangan palsu di bawah sumpah.

Namun, yang terungkap kemudian lebih mengerikan. Pengakuan para terdakwa semakin membuktikan kalau kasus ini masuk ke pengadilan dengan proses yang janggal.

Terdakwa Suwono dalam persidangan di PN Surabaya pada Kamis 17 Februari 1994, menceritakan siksaan fisik dan mental yang dialami sembilan orang terdakwa kasus Marsinah.

Di depan majelis hakim, Suwono membuka baju dan menunjukkan beberapa bekas luka di tubuhnya. Bekas-bekas luka itu, kata Suwono kepada majelis hakim, merupakan luka bekas penyiksaan saat ia diculik, disekap, disiksa dan dipaksa menandatangani BAP.

"BAP itu dibuat dengan paksaan dan siksaan, sehingga saya tidak berdaya dan terpaksa menandatangani. Tapi sekali lagi saya tegaskan, bahwa itu tidak benar," kata Suwono seperti dikutip harian Kompas edisi Jumat 18 Februari 1994.

Lokasi pabrik PT CPS di Porong Sidoarjo tempat Marsinah dulu bekerja yang kini sudah terendam lumpur Lapindo. (Liputan6.com/Dhimas Prasaja)

Namun, ketua majelis hakim Sariyanto tak peduli dengan keterangan Suwono. Ia tetap ngotot memeriksa yang bersangkutan memakai BAP yang sudah disangkal semua terdakwa. Hakim juga menolak keinginan Suwono untuk menceritakan proses lahirnya BAP tersebut.

"Waktu itu saya sedang dinas jaga sampai pukul 05.00 WIB pagi di pabrik. Malahan sekitar pukul 22.00 WIB saya didatangi petugas Koramil Kecamatan Porong, Sidoarjo dan diajak ngobrol di pos penjagaan pabrik sampai pukul 22.30 WIB. Jadi bagaimana mungkin saya disebut menculik Marsinah," tegas Suwono di persidangan.

Ia juga menyangkal penyiksaan dan pembuangan mayat Marsinah pada 8 Mei malam yang menurut BAP dilakukan bersama AS Prayogi. Sebab, pada tanggal itu ia masuk kerja, sedangkan AS Prayogi sedang sakit dan tak masuk kerja.

Setelah terus menerus menyanggah dan menyela para hakim, Suwono akhirnya bisa menjelaskan penyiksaan yang ia alami sejak ditangkap tanpa surat penangkapan. Ia dan sejumlah karyawan PT CPS lainnya ditangkap dan disekap sejak 1 Oktober hingga 19 Oktober 1993.

"Baru pada tanggal 22 Oktober 1993 saya dipindah ke Markas Polda Jatim. Sebelumnya saya disiksa di markas militer, dipukuli, ditelanjangi dan kemaluan saya disetrum. Akhirnya, saya terpaksa mengikuti kemauan mereka menandatangani BAP. Bekas lukanya di pundak kiri masih ada sampai sekarang," jelas Suwono sembari membuka baju dan menunjukkan bekas luka di bahu kirinya ke majelis hakim.

Kesaksian Suwono membuat semuanya berubah. Sidang-sidang selanjutnya terasa berbeda dan keanehan makin terlihat.

 


Ruang Sidang Dipenuhi Tentara

Keterangan terdakwa Suwono membuat media massa memberitakannya secara besar-besaran. Apalagi pengakuan serupa juga disampaikan para terdakwa lainnya, bahkan banyak yang lebih mengerikan. Berbagai siksaan mengerikan itu kemudian dituliskan para terdakwa dalam surat mereka ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Fakta persidangan ini juga membuat banyak pakar berkomentar, LSM, dan mahasiswa terus menggelar berbagai aksi, para seniman tak ketinggalan memprotes dengan berbagai macam karyanya. Akhirnya, kasus Marsinah jadi sorotan internasional. Terlebih penyiksaan terhadap para terdakwa digambarkan secara sadis dan vulgar.

Berbaliknya pengakuan terdakwa juga berdampak pada situasi di ruang sidang. Di awal-awal persidangan, ribuan warga yang umumnya adalah kaum buruh, ramai-ramai mendatangi pengadilan untuk menyaksikan persidangan. Tak ada kerusuhan di ruang sidang, meski cercaan dan cemoohan terhadap terdakwa kerap terdengar.

Tak hanya memenuhi ruang sidang, di luar pengadilan pun warga menyemut, meski mereka tak bisa mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruang sidang. Polisi lah yang kemudian disibukkan untuk mengamankan jalannya persidangan serta suasana di luar ruang sidang yang dipenuhi massa.

Di PN Sidoarjo, pihak pengadilan dan polisi harus membobol dinding ruang sidang untuk mengevakuasi para terdakwa, saksi dan majelis hakim. Alasannya, jalan menuju ke luar sangat sesak dipenuhi pengunjung sidang. Terlebih, amarah massa bisa meletup kapan saja, saking geramnya dengan pembunuhan sadis yang dilakukan para terdakwa.

Seperti ditulis Kompas edisi Rabu 10 November 1993, ada pintu darurat untuk mengevakuasi terdakwa, saksi dan majelis hakim yang dibuat berdasarkan rapat antara pengadilan, kejaksaan dan kepolisian Sidoarjo. Dengan cara begitu, para tersangka, majelis hakim, ataupun saksi tak perlu melewati pintu depan pengadilan.

Bendera bergambar Marsinah dibawa para buruh saat aksi memperingati 22 tahun tanpa keadilan "Malam Marah Marsinah" di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta, Jumat (8/5/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Para terdakwa, misalnya, mereka tak diangkut lagi dengan mobil tahanan. Mereka dibawa dengan mobil biasa yang tak mencolok bagi pengunjung sidang. Selain itu, mereka tak akan melewati jalur biasa. Mereka masuk melalui gang kecil yang menuju ke pintu darurat. Pintu itu dimodifikasi dengan cara membobol tembok PN Sidoarjo.

Hal yang sama juga terjadi di PN Surabaya. Di sini bahkan beberapa ruas jalan terpaksa harus ditutup. Bukan karena massa aksi yang pro dan kontra. Namun, lebih kepada massa buruh dan masyarakat biasa yang ingin turut serta menyaksikan sidang pembunuhan Marsinah.

Puluhan polisi juga menjaga beberapa ruas jalan di sekitar gedung PN Surabaya. Di dalam gerbang, ada serangkaian pemeriksaan bagi pengunjung sidang yang ingin masuk. Di dalam ruang sidang, polisi menjaga ketat persidangan.

Setelah terdakwa memberikan pengakuan yang mengejutkan tentang penyiksaan yang mereka terima, pengamanan persidangan semakin berlapis. Bahkan, persidangan lanjutan yang digelar sejak Februari 1994 hanya dihadiri para tentara dan polisi yang mengenakan pakaian sipil.

Selain itu, sidang juga dikawal dengan sangat ketat. Jalan-jalan di sekitar kompleks gedung PN Surabaya ditutup, pintu gerbang dan pintu masuk gedung juga dikunci. Polisi kala itu mendaftar setiap pengunjung yang masuk halaman PN Surabaya.

Bahkan, wartawan tak bisa mendekat hanya untuk wawancara seusai sidang. Setiap selesai sidang, terdakwa ataupun saksi langsung dilarikan dengan penjagaan berlapis. Tak bisa didekati, terlebih untuk wartawan.

 


Kasus Berakhir Antiklimaks

Keanehan demi keanehan terus berlanjut. Persidangan demi persidangan mengungkapkan ada yang tak beres dengan kematian Marsinah serta perjalanan kasusnya di pengadilan. Tak hanya pengakuan, barang bukti dalam kasus ini juga bermasalah.

Saat persidangan menghadirkan Komandan Rayon Militer (Dan Ramil) Porong Kapten Kusaeri, barang bukti berupa mobil Hijet 1000 yang digunakan untuk menculik dan membuang jenazah Marsinah disangkalnya.

Karena ia menyangkal, saat melihat mobil itu bersama majelis hakim di luar ruang sidang, Kepala Kusaeri ditoyor seseorang dari belakang. Setelah kembali ke ruang sidang, Kusaeri meralat keterangannya dan membenarkan bahwa itulah mobil yang ia lihat untuk membawa Marsinah.

Lebih parah lagi, barang bukti berupa baju Marsinah yang dikenakan saat dibunuh dan merupakan barang bukti sangat penting dibakar begitu saja. Hal ini terungkap dalam persidangan di PN Surabaya pada Senin 7 Februari 1994.

Pembakaran baju Marsinah hanya berselang beberapa minggu setelah jenazahnya dibawa ke RSUD Nganjuk. Alasan pihak rumah sakit, tak ada petunjuk dari Polres Nganjuk.

Setelah autopsi, barang-barang yang melekat di badan Marsinah memang disimpan di rumah sakit. Namun, itu tak berlangsung lama. Dari fakta persidangan terungkap ada kejanggalan mengapa baju dan barang bukti lainnya dibakar pihak rumah sakit.

Dalam surat yang ditandatangani Kepala RSUD Nganjuk Dr Djarwo P Siswanto, ia memberitahukan Kapolres Nganjuk bahwa barang bukti itu telah dibakar pihak rumah sakit pada 24 Mei 1993. Alasannya, karena Polres Nganjuk tak kunjung membalas surat mereka.

Selain itu, keanehan lainnya adalah tidak adanya saksi terkait penemuan jenazah yang dihadirkan. Saksi Widji bin Asim, misalnya, mengatakan diperintah Kepala Dusun Jegong, Desa Wilangan, Joyo Prawiro melihat seseorang yang sedang tidur di gubuk milik desa, di Dusun Jegong, Desa Wilangan.

Lokasi pabrik PT CPS di Porong Sidoarjo tempat Marsinah dulu bekerja yang kini sudah terendam lumpur Lapindo. (Liputan6.com/Dhimas Prasaja)

Karena disangka orang gila, lanjut Widji, dirinya tidak berani mendekat dan hanya melihat tubuh orang itu dari jarak sekitar tiga meter. "Saya baru bisa memastikan kalau itu mayat, setelah ada semut bergerombol di dekat hidung dan matanya. Kalau orang tidur, ada lalat hinggap saja sudah bangun," ujar Widji dengan bahasa Jawa.

Mendengar laporan Widji, Joyo Prawiro langsung berangkat menuju ke Polsek Wilangan. Dalam kesaksiannya Joyo mengakui, sesampai di Polsek dirinya diterima Tajuwid, yang sedang tugas jaga. Akhirnya, bersama Danramil, Wakil Camat dan seorang petugas Puskesmas Wilangan, Joyo menuju ke gubuk itu.

Namun, Tajuwid memberi kesaksian berbeda. Menurut dia, begitu mendengar laporan Joyo, dirinya langsung meluncur ke tempat kejadian. "Saya sendiri meluncur ke sana. Sesampai di gubuk itu, sudah ada aparat Muspika lainnya," ujar dia.

Anehnya, tidak diketahui siapa yang pertama kali melihat sosok di gubuk milik desa dan melaporkannya kepada Joyo? Kalau memang Joyo yang pertama melihat, kenapa dia tidak melihat sendiri sosok yang dilaporkan berada di gubuk itu?

Selain itu, aneh kalau kasus penemuan jenazah sampai melibatkan aparat muspika. Bahkan, pejabat setingkat wakil camat pun begitu cepat sampai di lokasi, sebelum polisinya sendiri tiba berdasarkan pengakuan Tajuwid.

Setelah melewati persidangan yang panjang, akhirnya pengadilan menyatakan para terdakwa bersalah membunuh Marsinah. Satu per satu dijatuhi vonis. Yudi Susanto, misalnya, divonis 17 tahun penjara. Sedangkan Mutiari dihukum 7 bulan karena dianggap hanya mengetahui rencana pembunuhan. Sedangkan sejumlah staf PT CPS lainnya dihukum berkisar empat hingga 12 tahun.

Tak puas dengan hukuman itu, para terdakwa kemudian mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Di tingkat ini, Yudi Susanto dibebaskan, sedangkan vonis terdakwa lainnya dikuatkan PT Surabaya. Untuk mendapatkan keadilan, sembilan terdakwa lainnya mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

Hampir dua tahun setelah ditemukannya jasad Marsinah di hutan jati Wilangan, tepatnya pada 3 Mei 1995, majelis hakim kasasi membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan atau bebas murni. Putusan inilah yang meyakinkan banyak pihak bahwa sejak awal penyidikan kasus ini memang sudah kental dengan aroma rekayasa.

Namun, pertanyaan utamanya adalah, siapa pembunuh Marsinah? Sayang, 24 tahun telah disia-siakan untuk menjawab pertanyaan itu.

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya