Liputan6.com, Jakarta - Vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok atas kasus dugaan penistaan agama pada Selasa, 9 Mei 2017 tidak hanya menyita perhatian masyarakat di dalam negeri. Vonis ini juga tak luput dari perhatian sejumlah organisasi pemerhati hak asasi manusia (HAM) internasional.
Melalui media sosial Twitter, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) menyatakan prihatin atas vonis penjara untuk kasus dugaan penodaan agama. Lembaga yang dibentuk pada 20 Desember 1993 itu menyerukan agar pasal penistaan agama ditinjau ulang.
Advertisement
Tanggapan atas vonis penjara dua tahun terhadap Ahok juga datang dari ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), wadah perkumpulan anggota DPR se-ASEAN. Melalui sebuah pernyataan bertajuk, "Regional lawmakers alarmed at conviction of Jakarta governor", mereka turut mengungkapkan keprihatinan.
"Putusan tersebut sangat membingungkan tidak hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi seluruh kawasan ASEAN. Indonesia dipandang sebagai pemimpin kawasan dalam urusan demokrasi dan keterbukaan. Keputusan ini menempatkan posisi tersebut dalam bahaya dan menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan Indonesia sebagai masyarakat yang terbuka, toleran, dan beragam," demikian pernyataan Charles Santiago, seorang anggota legislatif Malaysia yang menjabat sebagai Ketua APHR dalam situs resmi organisasi tersebut.
Melalui pernyataan tersebut, APHR mengungkapkan, vonis yang dijatuhkan terhadap Ahok dapat membesarkan hati kelompok garis keras.
"Kasus ini menunjukkan, perlunya Indonesia mengambil langkah-langkah untuk mengatasi meningkatnya intoleransi agama dan merevisi undang-undang demi memastikan kepatuhan terhadap standar HAM internasional, termasuk kebebasan berpikir, berekspresi, kepercayaan," ungkap Santiago.
Organisasi pemerhati HAM Amnesty International dalam situs resminya memuat tanggapan atas vonis terhadap Ahok melalui sebuah artikel berjudul "Indonesia: Ahok conviction for blasphemy is an injustice".
"Putusan ini menunjukkan ketidakadilan yang melekat pada hukum penistaan agama di Indonesia, yang harus segera dicabut," tutur Champa Patel, Direktur Amnesty International untuk kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
"Putusan tersebut dapat merusak reputasi Indonesia sebagai negara yang toleran," imbuhnya.
Sementara itu, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam juga turut memberi tanggapan selepas vonis dua tahun penjara terhadap Ahok. Melalui situs resminya, mereka mengimbau pemerintah Indonesia, lembaga, dan warganya untuk senantiasa mempertahankan tradisi toleransi dan pluralisme yang ada selama ini.
"Uni Eropa senantiasa memuji kepemimpinan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, sebagai demokrasi yang kuat dan negara yang bangga atas tradisi toleransi dan pluralisme yang dimilikinya," demikian bunyi pernyataan bersama para dubes Uni Eropa di Indonesia.
Dalam poin penutupnya, Uni Eropa mengatakan bahwa hukum yang mengkriminalisasi penistaan agama secara diskriminatif dapat menimbulkan terhalangnya kebebasan berekspresi dan atau kebebasan beragama dan kepercayaan.
Ahok kini berada di rumah tahanan di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok setelah sebelumnya sempat ditahan di Rutan Cipinang. Keputusan pemindahan lokasi penahanan Ahok diambil atas pertimbangan keamanan.