Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan bisnis digital di Indonesia tak dimungkiri masih terus bertumbuh. Namun bukan berarti sektor tersebut tak memiliki kendala dalam pertumbuhannya.
Chief Information Officer Indonesia (iCIO Community) merilis sebuah rekomendasi mengenai lima masalah yang masih dihadapi pelaku ICT di Indonesia.
Rekomendasi yang difasilitasi oleh Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini melibatkan sejumlah CIO dalam sebuah forum Focused Group Discussion (FGD).
"Dari pembahasan itu, kami menemukan setidaknya ada lima masalah yang perlu menjadi perhatian dan diharapkan dapat teratasi dalam waktu 3-5 tahun mendatang sehingga visi sebagai salah satu negara dengan ekonomi digital terbesar dapat tercapai," tutur Chairman iCIO Community, Agus Wicaksono, saat diskusi dengan tajuk "Closing The Digital Talent Gap" diadakan di Jakarta, Selasa (9/5/2017), kemarin.
Baca Juga
Advertisement
Adapun masalah yang masih menjadi perhatian itu adalah kesenjangan infrastruktur teknologi, kekurangan tenaga ahli, privasi data, standar pertukaran informasi, serta kepemilikan data.
"Infrastruktur yang merata dapat mendorong pelaku bisnis berkompetisi dengan setara. Namun jika belum terjadi, hal itu dapat menyebabkan ketimpangan," ujarnya. Karenanya, Agus mengapresiasi langkah pemerintah melalui Proyek Palapa Ring yang membuka jaringan internet bagi seluruh wilayah Indonesia.
Masalah lain yang juga masih harus dihadapi adalah kurangnya tenaga ahli. Untuk itu, iCIO Community telah menandatangani nota kesepahaman dengan Universitas Indonesia dan Universitas Bina Nusantara untuk meningkatkan program pendidikan digital di perguruan tinggi.
"Privasi data mungkin menjadi salah satu masalah yang masih dianggap remeh. Akan tetapi, kesadaran akan hal ini perlu ditingkatkan, termasuk melalui regulasi, sehingga timbul digital trust, yaitu sikap percaya pada transaksi digital," ujarnya menjelaskan.
Sementara standar pertukaran informasi yang masih terjadi antar pelaku usaha sebaiknya dapat segera diatasi. Menurut Agus, perlu ada sebuah kerangka kerja sebagai standar yang baik untuk menumbuhkan pertukaran informasi yang setara pula.
Terakhir, soal kepemilikan data. Saat ini, masih terjadi polemik mengenai kedaulatan informasi dari pemerintah. Maksudnya, pemerintah dapat sewaktu-waktu mengambil data dari pelaku bisnis apabila memang memang diperlukan.
Di sisi lain, pemerintah juga masih mendorong agar setiap perusahaan memiliki pusat data di Indonesia. Padahal, cara semacam itu dianggap sudah tak relevan, mengingat perkembangan teknologi komputasi awan yang kian optimal sehingga penyimpanan tak perlu dilakukan secara fisik. Karenanya, diperlukan formulasi yang dapat memenuhi kedaulatan informasi dan pertumbuhan bisnis.
"Seluruh pemangku kepentingan dan pelaku digital harus sama-sama berkoordinasi untuk menuju masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi informasi dengan lebih cerdas dan baik," ucap Agus mengakhiri pembicaraan.
(Dam/Cas)