Derma Unik Warga Saat Pindapata di Malioboro

Derma unik yang diberikan umat Buddha itu membuat biksu yang menggelar pindapata tersenyum simpul.

oleh Fajar AbroriYanuar H diperbarui 10 Mei 2017, 13:33 WIB
Derma unik yang diberikan umat Buddha itu membuat biksu yang menggelar pindapata tersenyum simpul. (Liputan6.com/Yanuar H)

Liputan6.com, Yogyakarta - Prosesi pindapata atau biksu mencari dana yang pertama kali digelar di Jalan Malioboro, Yogyakarta disambut antusias oleh warga setempat, khususnya para umat Buddha. Antusiasme warga Yogyakarta itu membuat Biksu Bhante Kamsai Sumano Mahamathera senang.

Bhante mengatakan prosesi Pindapata ini merupakan tradisi agama Buddha yang bermakna mengajarkan warga dan umat untuk tidak pelit terhadap barang duniawi. Dengan berderma, diharapkan kedamaian dapat terwujud.

"Jangan kemerkatan atau pelit. Pindapata itu memberi. Soalnya makan kita terbatas. pindapata itu kesempatan bagi umat bagi makanan pada biksu supaya punya tenaga untuk mendoakan untuk duduk semedi dan isi ceramah," ujarnya di Klenteng Gondomanan, Selasa, 9 Mei 2017.

Bhante mengatakan semua hasil Pindapata yang terkumpul akan dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Para biksu yang melakukan Pindapata merupakan gabungan biksu dari Thailand dan Indonesia. Ia yakin dengan Pindapata yang pertama kali digelar itu nantinya akan kembali digelar di tahun berikutnya.

"Banyak dari Indonesia yang jadi biksu. Ada 23 vihara. Ada lima sampai 10 biku, tapi ini kita gabung dengan dari Thailand. Saya dari Thailand tapi saya sudah jadi kepala vihara di Menteng, Jakarta Pusat," ujarnya.

Bhante menjelaskan Pindapata 2017 itu juga untuk menyambut perayaan Tri Suci Waisak 2017 yang akan digelar di Candi Borobudur dan Candi Mendut. Dalam prosesi tersebut, umat Buddha memberikan beragam derma. Yang paling banyak adalah dana untuk makanan.

"Kemarin sudah ambil air suci dan hari ini sebagian ambil api, lalu nanti api dan air disembahyangkan di Candi Mendut," ujarnya.

Bhante mengatakan, selain memberi derma berupa uang, ada pula warga atau umat yang memberikan sandal karena kasihan melihat biksu yang berjalan tanpa sandal. Namun, kebanyakan warga memberikan dermanya mulai dari makanan hingga obat-obatan.

"Ada juga yang buru-buru kasih sendal, padahal ini kan kita memang niat tidak pakai sendal. Ada juga yang niat kasih topi juga, kasihan kepanasan kenapa biku kok pakai selimut dan berjubah. Kita maklum, kayak sekolah belajar lagi," ujarnya.

Selain di Malioboro, umat Buddha dan ratusan biksu menjalani tradisi pindapata di kawasan Pecinan, di sepanjang Jalan Pemuda Kota Magelang, Jawa Tengah, dalam rangkaian perayaan Trisuci Waisak 2017, dilansir Antara, Rabu (10/5/2017) pagi.

Para umat berdiri di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di Kota Magelang itu, untuk memberikan sedekah, antara lain berupa uang dalam angpao dan amplop, serta makanan kepada para biksu.

Para biksu itu berasal dari beberapa dewan sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia. Mereka berjalan kaki dengan membawa wadah untuk mengumpulkan sedekah dari umat.

Sebelumnya, sekitar 100 biksu tersebut melakukan persembahyangan di dalam Kelenteng Liong Hook Bio yang berada di ujung jalan di kawasan Pecinan Kota Magelang.

Hadir pada kesempatan itu, antara lain Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Kementerian Agama Supriyadi, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Jawa Tengah David Hermanjaya, dan Ketua Yayasan Tri Bhakti, pengelola Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji.


Adopsi Tradisi Thailand

Derma unik yang diberikan umat Buddha itu membuat biksu yang menggelar pindapata tersenyum simpul. (Liputan6.com/Yanuar H)

Sekitar pukul 08.00 WIB, para biksu dari Sangha Theravada, Mahayana, Tantrayana, dan Mahanayikan itu, keluar dari kelenteng dan berjalan menyusuri trotoar Jalan Pemuda untuk melakukan pindapata.

Petugas kepolisian mengalihkan arus lalu lintas kendaraan umum yang hendak melewati kawasan Pecinan ke jalur lain, agar pelaksanaan pindapata aman dan lancar. Umat Buddha bersama keluarga masing-masing berdiri di depan rumah tokonya untuk memberikan sedekah kepada para biksu yang melewati tempat mereka.

David Hermanjaya mengatakan tradisi pindapata sebagai kebiasaan umat Buddha melepaskan kepentingan duniawi dalam rangka merefleksikan nilai-nilai kebuddhaan yang ada pada setiap manusia.

"Umat Buddha berbagi melalui biksu sebagai tanda bakti dan cinta kasih kepada sesamanya. Umat Buddha diajarkan memberikan kebaikan untuk seluruh manusia dan makhluk," ujarnya.

Supriyadi mengatakan pindapata merupakan praktik umat Buddha untuk memberikan sokongan dan sumbangan kepada biksu. Biksu sebagai wadah syukur umat untuk menanam jasa.

"Oleh karena itu, umat dilatih untuk memberi, melepas. Tidak hanya menerima. Kalau memberi dengan ikhlas dengan tulus maka otomatis buahnya sesuai dengan karma kita. Berbuat baik pasti akan tumbuh kebaikan, berbuat jelek pasti akan berbuah ketidakbaikan," katanya.

Paul Candra mengatakan tradisi pindapata bagi umat di kota setempat telah menjadi bagian dari agenda perayaan Waisak setiap tahun yang dipusatkan di Candi Borobudur Kabupaten Magelang.

Tradisi itu mengadopsi keseharian masyarakat Thailand yang mayoritas pemeluk Buddha, di mana saat mereka bertemu di jalan-jalan dengan para biksu setiap pagi, kemudian memberikan sedekah untuk kepentingan hidup sehari-hari biksu tersebut.

"Dengan memberi sedekah kebajikan seperti kepada biksu, dipercaya akan mendapatkan pahala kebaikan dan keselamatan," katanya.

Puncak Tri Suci Waisak 2017 jatuh pada Kamis, 11 Mei 2017, dengan ditandai pradaksina dan meditasi detik-detik Waisak pukul 04.42.09 WIB oleh umat Buddha dan para biksu di pelataran Candi Borobudur yang juga warisan budaya dunia tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya