Liputan6.com, Bandung - Proses pengosongan lahan untuk pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, terus dilakukan meski terjadi konflik warga dengan PT Kereta Api.
Konflik yang terjadi berupa dugaan intimidasi terhadap warga setempat. Intimidasi itu dduga dilakukan aparat keamanan, baik internal maupun dari eksternal PT KAI. Mereka mengancam warga harus segera pindah jika tidak mau digusur paksa.
Direktur Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan mengaku sebenarnya warga setempat bisa diajak kerja sama terkait pengosongan lahan yang akan dijadikan jalur kereta api cepat , selama informasi yang disampaikan jelas.
Baca Juga
Advertisement
Ada surat pemberitahuan, namun surat itu tidak jelas proses tahapannya. Surat itu berisi perihal pemberitahuan bahwa akan ada eksekusi pembongkaran, tapi tidak sampai ke warga yang bangunannya akan dibongkar.
"Sampainya hanya ke desa atau ke kecamatan atau pihak-pihak tertentu dan ini juga tak luput di lapangan mereka juga diintimidasi," kata Dadan di Jalan Stasiun Barat, Bandung, Selasa, 9 Mei 2017.
Dadan menjelaskan selain intimidasi, PT Kereta Api juga menerbitkan surat perintah pengosongan lahan yang keliru. Karena kata Dadan, surat yang dipakai untuk pengosongan lahan itu menggunakan surat perintah yang sama bagi warga di kawasan Stasiun Barat, Kota Bandung.
Dia mengatakan, warga dari lima desa di Kabupaten Bandung Barat yaitu Mekarsari, Kertajati, Kertajaya, Cilame, Gedobangkong dan Kertamulya yang berjumlah hampir 2.000 orang dengan 500 kepala keluarga tersebut tidak dilibatkan dalam konsultasi publik, berbagai musyawarah maupun beberapa dialog dalam hal keputusan ganti rugi oleh PT Kereta Api.
Mereka tidak dilibatkan dengan alasan seluruh kepala keluarga yang lahannya harus dikosongkan tidak tercantum dalam Amdal PT KCIC yang telah dibuat. Sehingga mereka tidak mendapatkan informasi utuh dari PT KCIC.
"Tidak dilibatkan dalam penyusunan Amdal KCIC karena di amdalnya jumlah korban yang ada itu tidak seperti yang terjadi di lapangan," ujar Dadan.
Pengakuan Warga
Warga Desa Cilame, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Han Hanafillah (36) mengaku intimidasi itu benar adanya. Intimidasi dilakukan penegak hukum dan pengamanan PT Kereta Api dalam proses pengosongan lahan yang akan dijadikan jalur kereta api cepat.
Han mengaku menerima ancaman secara lisan pada November 2016. Ancaman itu mengatakan jika dalam sepekan tidaK menerima uang ganti rugi yang ditetapkan sepihak, maka tempat tinggalnya akan diratakan paksa memakai buldozer.
"Perkataan itu diulang-ulang, malahan di desa lain ada yang pagar dan temboknya ditendang, bahkan informasi lainnya ada preman yang dibayar untuk itu," kata Han.
Keberadaan uang ganti rugi sendiri disebutkan Han tidak diketahui asal muasalnya. Karena dirinya belum pernah membubuhkan tanda tangan ganti rugi saat pendataan aset lahan dan bangunan selama tiga hari. Saat itu warga dikepung oleh aparat keamanan dan ormas.
Adanya aparat hukum pemerintah dan ormas yang ikut mengepung proses pendataan itu membuat istri dan anaknya menangis karena kaget. Pada waktu itu besaran ganti rugi yang sudah berbentuk buku tabungan sangat kecil, yaitu Rp 22.500.000.
"Idealnya bisa hitung sendiri dengan luas tanah dua petak ya sekitar Rp 180 juta," jelas Han Hanafillah.
Padahal Han telah meneken sewa surat menyurat tanah dengan PT Kereta Api pada 2008 dan tidak ada bahwa kawasannya akan dibangun jalur kereta api cepat. Setiap tahunnya membayar Rp 200.000 per petak untuk luas bangunan 90 x 90 meter kepada PT Kereta Api.
Bukan Ganti Rugi
Sementara itu, juru bicara PT Kereta Api Daerah Operasi 2 (PT KAI Daop 2) Bandung Joni Martinus dikonfirmasi soal hal ini membantah soal pengakuan warga. Kata dia, tidak ada tindakan penggusuran terhadap lahan dan bangunan warga di Kabupaten Bandung Barat yang akan dibangun jalur kereta api cepat. Tetapi yang ada adalah memanfaatkan aset tanah milik PT KAI yang selama ini dihuni oleh masyarakat.
"Kami tidak memberi ganti rugi, tapi kami memberi biaya bongkar dan ongkos angkut. Kenapa? Karena PT KAI bukannya membeli tanah warga," kata Joni Martinus kepada Liputan6.com.
Joni menjelaskan, sejak bulan November-Desember 2016 atau kurang lebih 4,5 bulan, otoritasnya memberikan biaya bongkar tersebut. Jangka waktu yang memadai diakuinya telah diberikan maksimal kepada warga untuk pindah mencari alternatif tempat tinggal yang baru. Sebelumnya PT KAI Daop 2 Bandung juga sudah mlakukan sosialisasi soal adanya penertiban cara persuasif.
Guna menghindari hal yang tidak diinginkan, mekanisme pembayaran biaya bongkar dan ongkos pindah dilakukan via transfer bank ke rekening masing-masing warga yang berhak menerima.
"Itu untuk menjamin transparasi dan guna tertib administrasi," jelas Joni.
Acuan PT KA Daop 2 Bandung dalam melakukan penertiban tersebut adalah keputusan Direksi PT Kereta Api (Persero) Nomor : Kep.U/JB.312/IV/ KA-2013, tentang pedoman pelaksanaan penertiban bangunan diatas aset tanah PT KA. Berpegang pada itulah, jika terdapat bangunan didirikan diatas aset tanah PT KA, besaran biaya bongkar dan ongkos angkut tetap merujuk.
Dalam klausul keduanya disebutkan dalam surat keputusan direksi PT KA, ganti ongkos bongkar dan angkut bangunan tembok permanen dipatok harga Rp 250.000 per meter persegi. Untuk bangunan kayu atau semi permanen, dipatok harga Rp 200.000 per meter persegi.
"Tidak ada kekhususan pada SK tesebut, hanya pada di kawasan Stasiun Barat, Kota Bandung saja" kata Joni.
Advertisement