Gappmi Usul Bedakan Jalur Pemeriksaan Impor Bahan Baku dan Jadi

Ini perlu dilakukan agar barang yang sudah masuk benar-benar memiliki standar sekaligus terjamin dari sisi keamanannya.

oleh Nurmayanti diperbarui 11 Mei 2017, 11:00 WIB
Layar monitor yang menunjukan data dwelling time di kantor pengelola portal INSW, Jakarta, Senin (6/2). Dengan adanya INSW semua tercatat dan termonitor secara online dan memudahkan pelaku usaha dibidang kegiatan ekspor impor. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta untuk membenahi mekanisme arus keluar barang impor yang sudah masuk ke pelabuhan. Ini perlu dilakukan agar barang yang sudah masuk benar-benar memiliki standar sekaligus terjamin dari sisi keamanannya. Alasan lain, agar industri dalam negeri lebih terlindungi.

Pemerintah bisa lebih mendahulukan bahan baku untuk keluar dari pelabuhan karena digunakan demi mendukung proses industri di dalam negeri. Artinya, ada proses memilih memilah sebelum barang keluar dari pelabuhan.

"Percepatan impor dan penyederhanaan proses impor harus lebih diutamakan bahan baku. Meskipun secara regulations tidak bisa ada diskriminasi, namun bisa dibuat jalur berbeda antara bahan baku dan barang jadi," ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman di Jakarta, seperti dikutip Kamis (11/5/2017).

Bahkan, jika perlu ada jalur pemeriksaan tambahan, untuk produk-produk kategori konsumsi atau bahan pangan yang langsung konsumsi. "Jalur bahan baku dan produk jadi dipisah. Kemudian persyaratan produk impor pun harus diperketat demi keamanan konsumen di dalam negeri," ujar Adhi.

Hingga saat ini, industri sektor makanan minuman lebih mampu menahan gempuran produk impor. Kalau pun ada impor, nilai dan volumenya sangat kecil.

Meski data BPS menyebut ada lonjakan barang konsumsi, hal itu tak berlaku untuk sektor makanan minuman. "Kalau sektor mamin saya lihat memang tidak ada lonjakan," dia menjelaskan.

Industri makanan dan minuman, Adhi menegaskan, saat ini sudah menjadi tuan di dalam negeri sehingga tidak khawatir dengan serbuan impor. Tak heran, produk impor jadi di sektor ini pun presentasinya sangat sedikit.

Alhasil, jika konsumsi dalam negeri terus naik didorong pertumbuhan ekonomi membaik, industri mamin dalam negeri siap memenuhi setiap kenaikan permintaan.

"Industri sangat siap. Karena mamin ada filter rasa selera dan budaya. Sehingga relatif lebih sulit mamin global menyerang masuk. Perkiraan impor mamin jadi sekitar 7 persen dari total peredaran dalam negeri," tegas Adhi.

Untuk itu, industri berharap pemerintah benar-benar memperhatikan dan menerapkan perlindungan sekaligus juga menghilangkan berbagai hambatan yang memberatkan pengusaha. Mulai dari regulasi, birokrasi, hingga masih besarnya suku bunga untuk industri.

"Suku bunga. Regulasi yang kurang kondusif. Memang ada deregulasi. Tapi ada juga regulasi baru. Misal soal sertifikasi halal, wacana cukai ke industri, hingga Pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap impor bahan baku kemasan plastik Polythelen Terephalate (PET) dan lain-lain," kata dia.

Ia berharap, pemerintah benar-benar memperhatikan masukan industri dan bisa bersinergi. Jangan lagi ada kementerian mendukung, sebagian lagi menolak, atas masukan yang diberikan industri. Sudah seharusnya pemerintah benar-benar membuktikan keberpihakan pada industri nasional.

"Pemerintah harus lebih meningkatkan koordinasi dengan menjadikan national Interest dan daya saing di pasar global sebagai pedoman," ujar Adhi.

Kebijakan impor harus disinergikan dengan dukungan nyata pada industri sebagai sektor penyerap tenaga kerja besar. Impor jangan lagi dimaknai membuka pintu untuk semua barang masuk leluasa.

     

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya