Liputan6.com, Bengkulu - Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Bengkulu merupakan yang tertinggi di Indonesia. Hal itu terlihat dari catatan Yayasan PUPA yang konsen terhadap perlindungan perempuan dan anak di Bengkulu.
Yayasan PUPA ini mencatat, sepanjang 2016 hingga triwulan pertama 2017 terjadi 176 kasus kekerasan seksual di Bengkulu. Di antaranya 115 kasus pemerkosaan terhadap perempuan atau 86 persen, sisanya 14 persen merupakan korban pelecehan seksual.
Lembaga ini juga mencatat 16 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada periode ini merupakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan 4,7 persen merupakan korban Kekerasan Dalam Perkawinan (KDP).
Direktur Yayasan PUPA Bengkulu Susi Handayani mengatakan, dalam kasus pemerkosaan, ditemukan 95 persen pelaku memiliki relasi personal dengan para korban. Mereka sehari-hari berinteraksi dan berada di lingkungan yang sama.
Baca Juga
Advertisement
"Ini menandakan bahwa lingkungan terdekat sudah tidak aman lagi bagi perempuan di Bengkulu," tegas Susi di Bengkulu, Kamis 11 Mei 2017.
Sebanyak 64 persen dari korban perkosaan itu berusia di bawah 18 tahun. Terbanyak berada di rentang usia antara 13 hingga 18 tahun. Artinya, para korban ini masih berada pada usia sekolah. Alhasil, putus sekolah merupakan dampak yang seringkali dialami para korban pemerkosaan tersebut. Selain malu, pihak sekolah juga tidak mau mentolerir para korban pemerkosaan.
"Membangun perlindungan para korban berbasis sekolah harus dilakukan, para korban harus terus mendapatkan haknya untuk belajar," lanjut Susi.
Dari sisi pelaku, 64 persen adalah pelaku dewasa berada pada rentang usia 24 hingga 40 tahun. Sebanyak 36 persen pelaku masih terbilang anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Bahkan ada di antara pelaku merupakan anak usia di bawah 16 tahun, yang secara hukum formal tidak bisa dipidana dan dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA).
Untuk melindungi para perempuan yang sangat rawan menjadi korban kekerasan seksual di Bengkulu, seharusnya mekanisme perlindungan dan penyadaran berbasis komunitas harus dilakukan. Peran pemerintah dan aparat terkait untuk terus menerus melakukan komunikasi untuk pencegahan, dipastikan akan menekan tingginya angka kasus ini di masa depan.
"Harus ada kontrol dan pemerintah tidak boleh tinggal diam, semua harus bergerak," kata Susi.