Liputan6.com, Jakarta - Selasa, 12 Mei 1998, merupakan hari yang tak akan pernah dilupakan. Tidak hanya bagi warga Kampus Universitas Trisakti, melainkan bagi rakyat Indonesia, khususnya mahasiswa, dalam memperjuangkan perubahan. Hari itu, darah tertumpah dan kemarahan meledak menjadi tragedi yang tak pernah dibayangkan.
Tak ada yang menginginkan jatuhnya korban jiwa dalam Tragedi Trisakti itu, tetapi sejarah juga mencatat bahwa apa yang terjadi di Kampus Trisakti pada hari itu telah mengubah banyak tatanan. Jatuhnya rezim yang berkuasa dan bergantinya sistem politik adalah dampak yang dipicu peristiwa 19 tahun lalu tersebut.
Advertisement
Selasa di Kampus Trisakti, di kawasan Grogol, Jakarta Barat, pada hari itu, sebenarnya tak ada yang istimewa. Sejak pagi ratusan mahasiswa berdatangan dan berkumpul untuk menggelar unjuk rasa. Sesuatu yang lazim terjadi di Jakarta dan banyak kota lainnya di Indonesia ketika itu.
Sekadar kilas balik, sejak awal Maret 1998, unjuk rasa mahasiswa sudah menjadi pemandangan yang lazim setiap harinya. Mahasiswa menuntut Presiden Soeharto untuk mundur karena dinilai tak bisa menanggulangi krisis ekonomi yang diduga karena salah urus negara dan merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di kalangan pejabat negara.
Sejumlah kampus di Tanah Air menggelar unjuk rasa dalam skala besar. Pada 12 Maret 1998, puluhan ribu mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan sejumlah dosen senior berunjuk rasa di jalan-jalan kampus. Mereka meneriakkan reformasi dan mendesak Presiden Soeharto untuk mundur.
Keesokan harinya, sekitar 15 ribu mahasiswa Universitas Indonesia juga melakukan hal yang sama. Mereka menuntut Presiden Soeharto memberantas KKN. Unjuk rasa terus berlanjut di Jakarta, antara lain digelar mahasiswa Universitas Atma Jaya dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP).
Bentrokan serius juga terjadi di Kampus Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Di Bandung, ribuan mahasiswa Universitas Pasundan dan Universitas Islam Bandung juga turun ke jalan.
Aksi menuntut reformasi tidak hanya berlangsung di Pulau Jawa, tapi juga menyebar ke kampus-kampus di Medan, Makassar, Padang, Lampung, dan Denpasar.
Awal April 1998, unjuk rasa makin mengeras yang terlihat dari makin seringnya terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan.
Di Kampus UGM Bulaksumur, bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan mengakibatkan lebih dari 100 mahasiswa terluka pada 2 hingga 4 April 1998. Aksi damai mahasiswa Universitas Airlangga juga berakhir bentrok pada 8 April 1998. Sebanyak 16 orang mahasiswa dilarikan ke rumah sakit.
Di Jakarta, unjuk rasa antara lain dimotori oleh mahasiswa Universitas Indonesia. Di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat digelar aksi gabungan berbagai universitas se-Jabotabek dan perwakilan mahasiswa dari kota-kota lain di Indonesia. Pada saat yang sama, aksi juga digelar ribuan mahasiswa di Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Sementara di Surabaya, hampir 20 ribu mahasiswa gabungan 16 perguruan tinggi di kota itu menggelar aksi serupa di Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya. Bahkan, pada unjuk rasa 8 Mei 1998 di Solo dan Yogyakarta, dikabarkan ada sejumlah korban dari kalangan mahasiswa.
Dengan semua rentetan unjuk rasa yang terus meluas itu, kondisi keamanan serta politik, terutama di kota-kota besar, memang sulit diprediksi. Yang jelas, ketika aparat keamanan makin keras menghadapi gelombang unjuk rasa, mahasiswa tetap memilih untuk tidak mundur dan meneruskan tuntutannya.
Dalam kondisi seperti itulah Tragedi Trisakti terjadi. Seolah sudah menjadi garis sejarah, puncak perlawanan mahasiswa mencapai klimaks di kampus biru itu yang kemudian diikuti dengan gerakan massa yang luas. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di Kampus Trisakti sore itu?
Aksi Tanpa Cela
Aksi di Kampus Trisakti pada Selasa, 12 Mei 1998 dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Bertempat di Gedung Syarif Thayeb, ribuan mahasiswa bersama sejumlah dosen, pegawai, dan alumni berkumpul untuk mengikuti mimbar bebas. Pada saat itu, semua mahasiswa masih terkonsentrasi di dalam areal kampus.
Aksi mimbar bebas diawali dengan penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama peserta aksi. Tak lupa mereka mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi negara yang tengah dalam kesulitan.
Aksi berlanjut dengan mendengarkan orasi dari dosen dan mahasiswa. Pada saat bersamaan, aparat keamanan mulai terlihat di jalan layang di luar kampus. Sementara, di dalam areal kampus, rencana untuk mulai bergerak ke luar kampus terus dimatangkan.
Menjelang pukul 13.00 WIB, massa mahasiswa mulai keluar dari gerbang kampus. Mereka berjalan perlahan dan teratur dengan tujuan Gedung DPR-MPR di kawasan Senayan.
Namun, aksi mereka ditahan aparat di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat atau sekitar 300 meter dari Kampus Trisakti. Dua baris aparat bertameng lengkap membuat mahasiswa tak bisa meneruskan perjalanan.
Beberapa perwakilan Senat Mahasiswa Universitas Trisakti kemudian bernegosiasi dengan pihak Komando Distrik Militer Jakarta Barat dan Kepolisian Resor Jakarta Barat. Hasilnya, pihak aparat tegas menolak aksi mahasiswa karena dikhawatirkan bakal membuat kemacetan dan gangguan keamanan.
Mahasiswa jelas kecewa dengan hasil negosiasi tersebut dan tetap mendesak untuk melanjutkan perjalanan. Sementara itu, aparat keamanan terus memperkuat diri. Empat truk pasukan pengendali massa terlihat datang di lokasi tertahannya rombongan mahasiswa Trisakti.
Merasa tak ada lagi pilihan, mahasiswa akhirnya menggelar mimbar bebas di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat. Melalui pengeras suara, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo meminta agar mahasiswa menjaga keamanan dan tidak berbuat anarki.
Sementara di sisi lain, sejumlah mahasiswi Trisakti tetap membagi-bagikan bunga kepada pengemudi yang lewat serta kepada aparat keamanan yang bertugas. Situasi ketika itu sangat tenang dan cair. Selain mahasiswa, sejumlah warga juga terlihat bergabung dengan kerumunan.
Pukul 14.00 WIB, tak ada perubahan. Meski mahasiswa terus mendesak agar diizinkan menuju Gedung DPR-MPR, aparat keamanan tak mengizinkan. Hujan pun mulai turun, tetapi mahasiswa tetap bertahan sembari meneriakkan yel-yel memberi semangat orator yang sedang beraksi di mimbar bebas.
Pada titik ini, sekitar 500 petugas keamanan gabungan dari berbagai kesatuan yang bersenjata lengkap berjaga-jaga di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat, di pagar pembatas Jalan S Parman, dan jalan tol, serta di bawah jalan layang Grogol.
Menjelang pukul 17.00 WIB, disepakati agar mahasiswa kembali ke kampus dengan tertib. Ribuan mahasiswa itu kemudian mulai beranjak meninggalkan lokasi. Semuanya berlangsung tertib. Bahkan, pihak kepolisian sempat mengucapkan terima kasih kepada mahasiswa karena sudah bersikap baik selama unjuk rasa.
Namun, situasi itu rusak oleh peristiwa tak diduga. Diakui, dalam perjalanan kembali ke kampus, sempat terdengar saling ledek dan cemooh antara mahasiswa dan aparat keamanan, tetapi bisa diredam. Bahkan, sebagian besar mahasiswa sampai di dalam kampus tanpa ada masalah.
Sayang, ketika itulah darah tertumpah di Kampus Trisakti.
Advertisement
Tembakan ke Arah Kampus
Waktu menunjukkan pukul 18.00 WIB, ketika sebagian besar mahasiswa Trisakti yang ikut unjuk rasa sudah berada di dalam kampus. Dengan tertib, mereka terus memasuki gerbang kampus yang penuh sesak oleh antrean mahasiswa yang akan masuk.
Tanpa jelas penyebabnya, tiba-tiba dari arah belakang atau barisan aparat keamanan yang berjaga di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat terdengar letusan senjata. Tak lama kemudian, gas air mata juga beterbangan ke arah kerumunan mahasiswa yang masih berada di luar kampus. Kepanikan pun terjadi.
Selain panik karena bunyi letusan senjata dan gas air mata, tak sedikit pula yang ketakutan karena serangan fisik dari aparat seperti memukul dan menendang. Bahkan, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Trisakti Hendra terkena tembakan peluru karet di bagian pinggang.
Dalam kepanikan akibat bunyi letusan senjata dari segala arah itu, para mahasiswa terus berusaha masuk ke dalam kampus. Sementara, sebagian mahasiswa lainnya berusaha membantu rekan-rekannya yang terluka karena terinjak kerumunan massa atau karena pukulan aparat.
Pada saat itu, tidak jelas dari mana saja tembakan berasal karena seluruh sisi sudah dijaga aparat bersenjata. Dari sejumlah saksi mata, bisa diketahui aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan senjata mereka ke dalam kampus.
Rombongan pasukan bermotor yang kemudian datang juga mengambil posisi di atas jembatan layang dan mengarahkan tembakan ke dalam kampus. Sementara, sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang kampus serta mengambil posisi siap menembak.
Tembakan dan lemparan gas air mata yang mengarah ke dalam Kampus Trisakti itu baru mereda pada pukul 19.00 WIB. Sejumlah mahasiswa tergeletak bersimbah darah. Ceceran darah serta pecahan kaca terlihat jelas. Tangisan ketakutan juga masih terdengar dari sejumlah sudut kampus pada malam itu.
Dalam situasi yang masih tak menentu itu, para mahasiswa nekat membantu serta mengevakuasi rekan-rekannya yang terluka ke Rumah Sakit Sumber Waras yang tak begitu jauh dari lokasi kampus.
Ketika itulah diketahui, tiga orang mahasiswa yang tewas di tempat (satu orang lagi dinyatakan tewas di rumah sakit) dan 15 orang terluka serta cedera.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulya Lesmana, mahasiswa jurusan arsitektur kelahiran 5 Juli 1978. Hafidin Royan atau Idhin, mahasiswa jurusan teknik sipil kelahiran Bandung, 28 September 1976. Hendriawan Sie, mahasiswa jurusan manajemen asal Balikpapan, Kalimantan Timur. Kemudian Hery Hartanto, mahasiswa jurusan teknik mesin angkatan 1995.
Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo Soetjipto dalam jumpa pers pada Selasa malam itu menegaskan Universitas Trisakti mengajukan protes keras kepada Kapolri dan Menhankam/Pangab atas insiden tersebut.
Sedangkan Wakil Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman dan anggota Komnas HAM Albert Hasibuan yang mendatangi Kampus Trisakti tak lama usai kejadian menegaskan, bukti yang terlihat di dalam insiden itu membuktikan telah terjadi serangan terhadap kemanusiaan.
Sementara, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Hamami Nata dalam jumpa pers pada Rabu dini hari mengatakan, kematian empat mahasiswa tengah diteliti dan membantah sangkaan kalau aparatnya melakukan penembakan. "Polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata," jelas dia.
Meskipun aparat keamanan membantah, hasil autopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Kabar ini langsung menyebar dan insiden di Kampus Trisakti seolah menjadi pemicu kerusuhan massa dalam skala luas yang terjadi keesokan harinya hingga beberapa hari kemudian. Kejatuhan rezim Soeharto tinggal menunggu waktu.
Jatuhnya Rezim Soeharto
Tak bisa dibantah, kabar tentang tewasnya empat mahasiswa Trisakti di dalam kampus mereka akibat tembakan aparat keamanan menimbulkan amarah publik. Sejak Rabu pagi, 13 Mei 1998, amuk massa dalam bentuk penjarahan dan pembakaran terjadi di penjuru Ibu Kota. Hal yang sama kemudian menjalar ke berbagai kota di Indonesia.
Insiden ini juga mendapat perhatian dunia internasional. Uni Eropa (UE) mendesak pemerintah Indonesia menahan diri dalam menghadapi unjuk rasa mahasiswa. Mereka juga mengingatkan aparat keamanan untuk tidak menggunakan senjata mematikan serta menghargai hak individu.
Sementara, Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negeri Madeleine Albright mengecam pembunuhan mahasiswa dan mendesak aparat keamanan menahan diri. "Kami mengecam pembunuhan yang terjadi ketika aparat keamanan Indonesia sedang menghadapi para demonstran," kata Albright.
Sementara, di Kampus Trisakti, sejumlah tokoh berdatangan untuk menyataan simpati dan belasungkawa pada Rabu pagi. Seperti ditulis Harian Kompas edisi Kamis, 14 Mei 1998, mereka di antaranya Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Ali Sadikin, Emil Salim, Kwik Kian Gie, dan Adnan Buyung Nasution. Kedatangan para tokoh ini semakin mempertegas batas antara mereka yang pro-reformasi dan pendukung rezim yang berkuasa.
Presiden Soeharto yang saat kejadian di Kampus Trisakti sedang berada di Mesir, memutuskan untuk pulang pada Jumat, 15 Mei 1998. Dia tiba di Tanah Air ketika kondisi negara sedang kacau karena kerusuhan terjadi di mana-mana. Presiden kemudian memerintahkan agar diambil tindakan tegas terhadap para penjarah dan perusuh.
Namun, Presiden mulai kehilangan kepercayaan dari bawahannya, termasuk sejumlah menteri dan pimpinan ABRI. Demikian pula dengan parlemen yang tak lagi mendukung kebijakan Presiden dan mulai mengambil peran sebagai pendukung reformasi.
Pada 18 Mei 1998, Ketua MPR Harmoko terang-terangan meminta Soeharto untuk mengundurkan diri demi kepentingan nasional. Keesokan harinya, Soeharto bertemu dengan sembilan pemimpin Islam terkemuka, termasuk Abdurahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Namun, dukungan tak didapatkan untuk pemerintah.
Pada 20 Mei 1998, Gedung DPR-MPR dikuasai mahasiswa. Siang harinya, pukulan telak untuk Soeharto datang dari para menterinya. Ada 14 menteri menyatakan tidak bersedia duduk dalam kabinet baru yang akan dibentuk Soeharto.
Akhirnya, pagi hari 21 Mei 1998, awak televisi dipanggil ke Istana Kepresidenan untuk mengabadikan momen pengunduran diri Soeharto. Dalam waktu yang bersamaan, Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi Presiden.
Lantas, bagaimana dengan insiden Trisakti? Pada tahun 2000 pemerintah sempat mengumumkan akan menginvestigasi 11 orang aparat yang diduga terlibat dalam tragedi tersebut. Namun, hingga sekarang, tak ada tersangka yang diinvestigasi.
Sama dengan kasus-kasus di masa lalu lainnya, tak pernah ada tersangka dalam tragedi berdarah di Kampus Trisakti. Tak jelas siapa pembunuh Pahlawan Reformasi itu hingga kini, meski bisa dipastikan bahwa mereka bukanlah siluman.
Advertisement