Liputan6.com, Jakarta Anggota Tim Kunjungan Kerja Komisi V DPR RI ke Provinsi Papua Bahrum Daido minta Kepala Bandara Sentani untuk berkoordinasi dengan Gubernur Papua terkait pembebasan tanah ulayat bagi pengembangan Bandara Sentani.
“Salah satu kendala pengembangan Bandara Sentani ke arah Komba sesuai master plan membutuhkan biaya kurang lebih Rp 1,5 triliun untuk pembebasan lahan 125 hektar. Ini sangat luar biasa,” kata Badai demikian sapaan akrabnya saat pertemuan tim yang dipimpin Wakil Ketua Komisi V Michael Watimena dengan Kepala Bandara Sentani di Jayapura, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Menurutnya tanah ulayat itu sebenarnya tidak bisa dibebaskan. Tanah ulayat ini merupakan milik dari seluruh masyarakat adat.
“Rp 1,5 triliun ini kita akan bayar kemana, kalau tanah ulayat seperti ini harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah baik itu Gubernur, Bupati atau Walikota untuk menghibahkan tanah ulayat ini, tidak perlu dibeli," tegasnya.
Karena jika dibeli, lanjut politisi Partai Demokrat ini, kita akan dituntut sampai 7 turunan, cucu sampe cicit-cicit, karena ada pembagian uang di situ.
“Tapi jika hibah yang dijembatani atau dikoordinasikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota pasti itu tidak ada masalah”, imbuhnya.
Ia yakin semua stakeholder yang berada di pemerintahan daerah baik itu Gubernur/Bupati/Walikota yang terkait pasti setuju, karena ini untuk kemajuan Papua bukan untuk pribadi-pribadi. Ia mengharapkan tidak ada pembayaran di pembebasan tanah ulayat, karena tanah ulayat adalah tanah adat dan dimiliki oleh seluruh masyarakat adat Papua.
“Bahaya kalau dibayar. Saya minta Kepala Bandara Sentani untuk mengkoordinasikan dengan Gubernur Papua, nanti Gubernur mengkoordinasikan dengan Bupati/Walikota yang terkait untuk membicarakan masalah hibah ini,” mantapnya.
Sebelumnya dalam kesempatan yang sama, Kepala Bandara Sentani Agus Priyanto menyatakan kendala terbesar adalah pengembangan Bandara Sentani ke arah Komba di sisi selatan seluas 125 hektar, sesuai master plan membutuhkan biaya sekitar Rp 1,5 triliun hanya untuk pembebasan tanah ulayat.
“Tuntutan pemilik hak ulayat atas tanah Bandara Sentani ini, menjadi salah satu faktor kendala terbesar dalam pengembangan bandar udara. Sementara keterbatasan pengembangan prasarana sisi udara berpengaruh pada slot time dan appron occupancy,” katanya.
Sebagaimana diketahui, masalah tanah ulayat ini menjadi isu utama di Papua. Tidak hanya menjadi masalah bagi pengembangan Bandara Sentani saja, tetapi sudah menjadi masalah di bidang pertanahan di Papua.
(*)