Liputan6.com, Jakarta - Sembilan belas tahun berlalu. Namun kenangan peristiwa itu masih membekas dalam ingatan Bambang. Kobaran api, penjarahan, orang berlari hingga jeritan minta tolong masih terekam jelas di kepalanya saat mengenang kerusuhan Mei 1998.
Saat itu, Bambang yang masih berusia 22 tahun tengah bersantai di depan rumah kontrakan milik saudaranya. Tiba-tiba, puluhan mahasiswa berlarian ke jalan raya. Bambang mendengar dari orang-orang yang lewat, Jakarta sudah rusuh, ada penjarahan di mana-mana, ada pembakaran, sasarannya warga etnis China.
Advertisement
Bambang yang kala itu seorang mahasiswa, akhirnya keluar dari kontrakan saudaranya di Grogol, Jakarta Barat. Ia menuju masjid, mencari kawan-kawan sepermainan. Bambang bertemu dua kawannya, yang juga tengah kebingungan harus berbuat apa. Mereka terjebak dalam huru-hara kerusuhan Mei.
Demi keselamatan, tiga pemuda itu masuk mobil ambulans yang terparkir di halaman masjid. Beruntung, salah satu teman Bambang mahir mengemudikan mobil.
Mereka bertiga tak tahu harus ke mana. Bambang yang saat itu ditanyai ke mana tujuan mereka dengan mobil ambulans itu, apakah ingin menyelamatkan diri menuju daerah luar Jakarta atau tidak, teringat saudaranya yang punya kontrakan.
"Waktu itu kakak saya yang punya kontrakan lagi ada urusan ke PIK (Pantai Indah Kapuk), saya ke sana untuk melihat keadaannya," ujar Bambang pada Liputan6.com di Jakarta, Jumat 12 Mei 2017.
Bambang tak menyangka, saat ia dan dua kawannya tiba di kawasan PIK, mereka dihadang oleh puluhan Satpam. Mereka menjaga beberapa rumah mewah di sana. Bambang memutar jalan, ia mencari rute lain untuk menemui saudaranya. Setelah mencoba berbagai rute, di pinggir jalan yang dilewati mobil ambulans itu, sekumpulan orang meminta ambulans berhenti.
"Ada sembilan orang di sana, di antaranya ada bayi dan anak-anak," kata Bambang mengisahkan peristiwa yang dialaminya saat Tragedi Mei 19 tahun lalu.
Sembilan orang itu meminta Bambang dan kawannya menghentikan ambulans. Setelah berhenti, mereka menghampiri Bambang memohon agar diantarkan ke Bandara Soekarno-Hatta. Sembilan warga keturunan China itu ingin menyelamatkan diri.
"Selain tak tega, mereka juga menjanjikan uang untuk bisa diantar ke bandara," kata Bambang.
Bambang dan rekannya ketakutan. Sebab, taruhannya nyawa. Jika ia tertangkap massa membawa sembilan orang etnis China, yang saat itu diburu massa, mobil mereka bisa dibakar dan tentunya nyawa mereka terancam.
"Kita juga takut membawanya, tapi karena diberi uang, saya belikan gincu merah, Fanta merah, kain hitam, tepung dan lain sebagainya untuk membuat efek seolah-olah darah segar," kata Bambang.
Sebelum membawa sembilan orang yang belakangan diketahui merupakan tiga keluarga berbeda itu, Bambang membeli beberapa peralatan. Kain hitam ia gunakan untuk diikatkan di lengan kanannya. Tepung, Fanta merah, gincu merah diaduk dengan berbagai peralatan lain yang dibeli Bambang. Tujuannya membuat efek darah.
"Sengaja begitu, biar kayak korban kerusuhan," kenang Bambang.
Setelah segala persiapan selesai. Bambang menyuruh sembilan orang itu melumuri tubuh mereka dengan cairan yang serupa darah itu. Selain bayi dan anak-anak, Bambang menyuruh orang-orang dewasa itu untuk telentang dan bertumpuk serupa jenazah.
Satu orang etnis China duduk di samping sopir. Sementara, Bambang dan satu teman lainnya bergelantungan di belakang mobil ambulans yang dibiarkan terbuka pintunya.
Saat dihentikan di perjalanan, Bambang langsung berteriak, "darurat... darurat," sembari menggerakkan tangan untuk menghalau massa yang memblokade jalan.
Uang di Kantong Kresek
Singkat cerita, Bambang berhasil membawa sembilan orang yang ditumpuk di dalam ambulans itu ke Bandara Soekarno-Hatta.
"Kami nggak langsung nurunin di depan bandara, kami masuk lewat belakang, ntar kan kalau lewat depan dicurigai," tutur dia.
Bambang masih ingat dengan jelas saat dia menerima uang dari sembilan orang itu. Melalui perwakilan mereka yang bernama Cici Melan, Bambang menerima uang dalam kantong kresek.
"Mereka kasih uang setelah sampai, nggak dicek, tapi setelah kami sampai ke kawasan Senen, kami cek, jumlahnya Rp 86 juta," kata Bambang.
Melihat upayanya itu berhasil, Bambang kembali mengajak dua kawannya ke berbagai wilayah di Jakarta untuk mencari orang yang akan diselamatkan
"Kita ke Grogol lagi, muter ke Roxy, ya nyari China lainnya buat nolongin mereka," kata Bambang.
Namun, usaha Bambang itu sia-sia. Hingga senja, ia belum juga bertemu orang yang perlu diselamatkan. Bambang lalu pulang.
Keesokan harinya, ia kembali melakukan hal yang sama, tapi tidak menemukan warga etnis China untuk ditolong. Saat itu, kabar soal pembakaran dan penjarahan di berbagai tempat telah ramai menyebar.
"Kami juga dikasih handphone jarahan sama massa, saya dikasih handphone Motorola," kenang Bambang.
Usai kejadian itu, Bambang masih berhubungan dengan Cici Melan. Perempuan itu jadi penghubung Bambang dengan sembilan warga Jakarta etnis China yang telah ia tolong.
Sembilan warga itu pun tetap berkomunikasi dengan Bambang. "Tahun lalu saya ke nikahan anaknya yang dulu waktu diselamatkan masih bocah," terang Bambang.
Kini, mereka tak lagi tinggal di Jakarta. Mereka pindah ke Medan yang dianggap lebih aman. Selain trauma, ada alasan lain yang membuat Cici Melan enggan kembali ke Jakarta. Saat Liputan6.com mencoba mengonfirmasi kisah tersebut. Cici Melan ataupun keluarganya enggan berkomentar.
Namun, berkat aksi Bambang dan kawan-kawannya, nyawa sejumlah orang tertolong.
Advertisement