Liputan6.com, Teheran - Pada 2017, sejumlah negara di berbagai belahan dunia melaksanakan pemilu presiden. Salah satunya adalah Iran.
Rakyat di Negeri Para Mullah itu dijadwalkan akan memilih presiden baru pada 19 Mei 2017. Seiring dengan semakin dekatnya hari pemungutan suara, iklim politik di negara itu dikabarkan memanas.
Presiden petahana Hassan Rouhani yang berlatar sentris kini tengah bertarung untuk mempertahankan kekuasaannya. Lawan tangguhnya berasal dari kalangan konservatif: Ebrahim Raisi.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Iranian Student Polling Agency pekan lalu menunjukkan, Rouhani memimpin sementara dengan perolehan suara 41,6 persen. Dua kandidat konservatif lainnya mengejar.
Rouhani belakangan dilaporkan mengubah retorika kampanyenya. Ia lebih sering mengkritik saingannya. Menurut sejumlah ahli, situasi seperti ini mengingatkan pada strategi kampanye Rouhani tahun 2013.
Baca Juga
Advertisement
Di sejumlah negara, pilpres menjadi ajang pertarungan antara kubu yang menginginkan keterbukaan dan ketertutupan. Namun di Belanda, Prancis, dan Korea Selatan kubu konservatif harus menelan kekalahan.
Seperti dikutip dari Los Angeles Times, Selasa (16/5/2017) berikut ini lima fakta tentang Pilpres Iran 2017 yang menarik untuk disimak.
1. Mengapa Pilpres Iran Penting?
Meski Barat menilai Pilpres Iran jauh dari bebas dan adil, presiden berperan dalam membentuk kebijakan luar negeri dan domestik, yang sering kali menjadi cerminan pasang surut masyarakat. Presiden juga memiliki kekuasaan untuk menunjuk anggota kunci kabinet dan gubernur.
"Pemilu Iran sering dilihat Barat sebagai hitam dan putih, dengan pemimpin tertinggi duduk di puncak dan tidak ada hal lain yang lebih penting. Namun sistem politik jauh dari monolitik, dan pemilu berlangsung dengan kompetitif," kata Reza H Akbari, seorang manajer program di Institute for War and Peace yang berbasis di Washington.
Meski presiden tetap berada di bawah Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran yang memiliki keputusan akhir mengenai urusan luar negeri dan domestik, presiden masih memiliki pengaruh signifikan.
Contoh yang paling menonjol adalah kesepakatan nuklir dengan Barat yang dicapai di era Rouhani.
Di tengah polemik terkait kesepakatan tersebut, Rouhani memperjuangkannya dan memulai proses pencairan hubungan dengan Barat. Ia bahkan mengkritik para pemimpin Garda Revolusi karena berusaha mengganggu kesepakatan tersebut.
Penekanan Rouhani pada diplomasi dan janjinya untuk membuka diri terhadap masyarakat internasional sangat berbeda jika dibandingkan dengan pendekatan isolasionis yang diusung pendahulunya, Mahmoud Ahmadinejad.
Fakta tersebut menunjukkan, dua aktor dengan latar belakang berbeda membawa nuansa dan agenda yang berbeda pula, tapi sama-sama berdampak luas.
Di Iran, presiden juga memiliki pengaruh luar biasa terhadap perekonomian. Saat Ahmadinejad memerintah, inflasi melonjak menjadi 40 persen.
Menurut media Iran, angka inflasi tahun lalu 7,5 persen. Meski demikian, angka pengangguran tetap tinggi dan kerap kali menjadi keluhan utama dari pemerintahan Rouhani.
Advertisement
2. Seluk Beluk Pilpres Iran
Pilpres Iran 2017 digelar untuk memilih presiden ke-12. Hanya warga negara berusia maksimum 18 tahun yang dapat berpartisipasi dan total jumlah pemilik suara di Iran saat ini adalah 50 juta orang.
Masa jabatan presiden Iran adalah empat tahun dan yang bersangkutan dapat menjalani dua periode. Menurut pengamat, lazimnya petahana akan memenangi periode kedua, namun dengan pertumbuhan ekonomi yang lamban memicu kritik terhadap Rouhani sehingga berujung pada persaingan yang lebih ketat dibanding yang diantisipasi.
"Ada orang yang berpendapat bahwa perubahan tidak terjadi cukup cepat. Mereka tidak melihat dampak atas dicabutnya sanksi sebagai bagian dari kesepakatan nuklir sebanyak yang mereka inginkan," ungkap Reza H Akbari.
Dewan Wali yang beranggotakan 12 orang akan bertanggung jawab untuk menyeleksi kandidat. Dari 1.600 orang yang terdaftar untuk mencalonkan diri dalam Pilpres Iran 2017, hanya enam yang disetujui oleh Dewan Wali.
Salah satu tokoh yang tersingkir adalah Ahmadinejad, mantan presiden yang berkuasa pada periode 2005-2013.
Demi keluar sebagai pemenang, seorang kandidat harus mendapat lebih dari 50 persen suara. Jika pada putaran pertama tidak ada yang mencapai lebih dari 50 persen, maka satu minggu kemudian, putaran kedua akan digelar.
3. Siapa yang Unggul?
Dari enam kandidat yang lolos seleksi Dewan Wali, hanya tiga yang digadang-gadang saling menjadi rival berat.
Sosok pertama adalah Hassan Rouhani (68). Sang petahana, ketika berkampanye untuk tahun 2013, berjanji memberlakukan reformasi sosial dan domestik. Di antaranya, memberikan asuransi kesehatan universal, mendukung suasana politik terbuka di kampus, dan "berdamai" dengan Barat.
Meskipun Rouhani menepati janjinya soal kesepakatan nuklir pada 2015, banyak janji kampanye Rouhani tentang kebebasan sosial mandek. Pasalnya, ia menghadapi perlawanan sengit dari kubu garis keras yang khawatir kelak kebijakan Rouhani akan menggerogoti kekuatan mereka.
Kandidat kedua yang unggul adalah Ebrahim Raisi (56). Meski para ahli mengatakan Raisi tidak punya banyak pengalaman di dunia politik -- ia merupakan seorang ulama dan mengelola yayasan amal terbesar di Iran -- namun ia dinilai sebagai pilihan bagi kalangan konservatif garis keras. Sosoknya juga diketahui memiliki hubungan dekat dengan Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran.
Pada musim panas 1988, ia tercatat sebagai salah satu dari empat hakim syariah yang memutuskan eksekusi massal terhadap kelompok kiri dan pembangkang.
Sementara itu, kandidat ketiga adalah Mohammad Bagher Qalibaf (55), seorang berlatar konservatif yang menjabat sebagai wali kota Teheran. Qalibaf dianggap punya pengalaman kuat di dunia politik dan merupakan pesaing berat Rouhani.
Ia juga merupakan mantan komandan Korps Garda Revolusi Iran.
Advertisement
4. Isu Apa yang Penting bagi Rakyat Iran?
Isu ekonomi telah memainkan peran besar dalam Pilpres Iran. Pengangguran dan kemiskinan tetap menjadi persoalan utama di sejumlah kota besar dan wilayah pedesaan di Iran.
Para pakar politik dan ekonomi Iran mengatakan, banyak orang merasa kecewa -- kecewa karena mereka belum merasakan manfaat dari kesepakatan nuklir dengan Barat.
Selama debat di televisi, kandidat konservatif memanfaatkan sentimen tersebut dengan menggunakan retorika populis dan menyerang Rouhani dengan isu lambannya pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Qalibaf dan Raisi berjanji untuk meningkatkan kondisi ekonomi melalui penyediaan perumahan pemerintah dan bantuan langsung tunai bulanan kepada masyarakat miskin.
5. Akankah Pilpres Memengaruhi Hubungan AS-Iran?
Keenam kandidat presiden yang bertarung dalam Pilpres Iran 2017 mengatakan dalam debat bahwa mereka akan menjunjung kesepakatan nuklir yang dicapai tahun 2015.
Meski demikian tidak dimungkiri, terdapat kekhawatiran dari para ahli tentang bagaimana kandidat konservatif -- jika terpilih -- akan berinteraksi dengan pemerintahan Donald Trump.
Trump telah berulang kali menyinggung Iran dengan berbagai pernyataan kerasnya. Pada Februari 2017, melalui media sosial Twitter ia mencuit bahwa Iran masuk daftar "On Notice" setelah Negeri Para Mullah itu diketahui melakukan uji coba rudal jarak menengah.
Pemerintahan Trump memberikan sanksi terhadap Iran. Tak lama, Michael Flynn, yang menjabat sebagai penasihat keamanan kala itu mengatakan, "Pemerintahan Trump tidak akan lagi mentolerir provokasi Iran yang mengancam kepentingan kita."
Reza H Akbari mengatakan, komunikasi antara AS-Iran sedikit meningkat pada era pemerintahan Barack Obama. Ia belum melihat hal yang sama di bawah kepemimpinan Trump.
Ia cenderung khawatir dengan kemungkinan kubu konservatif mampu mengalahkan Rouhani dalam Pilpres Iran 2017. "Retorika Trump terhadap Iran begitu keras. Sehingga memiliki sosok serupa di lain sisi yang sama kerasnya, bisa memicu konfrontasi yang tidak disengaja."
Advertisement