Liputan6.com, Jakarta - Rupiah belum bisa menjadi raja di Tanjung Pinang Kepulauan Riau. Masyarakat di daerah tersebut masih menggunakan tiga mata uang untuk bertransaksi. Ketiga mata yang tersebut adalah rupiah, dolar Singapura (SGD) dan ringgit Malaysia.
Masyarakat Tanjung Pinang menggunakan ketiga mata uang tersebut untuk aktivitas perniagaan baik barang dan pelayanan jasa. Hal tersebut bukan tanpa alasan.
Masyarakat Tanjung Pinang menganggap, cara itu merupakan bentuk penerimaan mereka dalam melayani wisatawan asing agar betah bolak-balik main ke sana. Salah satunya di Pulau Penyengat.
Pulau yang kuat dengan destinasi wisata religi dan sejarah itu banyak memikat turis asing, khususnya Singapura dan Malaysia. Selain karena letak pulau yang berdekatan, ada rasa rumpun yang melekat terutama terkait leluhur mereka.
Sebab itu, warga Pulau Penyengat sangat menyambut mereka dan memberikan kemudahan dalam bertransaksi. Mereka tidak keberatan untuk repot menukarkan mata uang asing yang didapat, ke tempat penukaran uang setempat.
Baca Juga
Advertisement
Andi (40) salah satu warga Pulau Penyengat yang berprofesi sebagai sopir becak motor menjelaskan, tidak masalah jika pengunjung yang datang membayar jasa angkut becak motornya dengan mata uang asing.
Dengan mematok tarif Rp 30 ribu sekali jalan mengitari tujuh objek wisata di Pulau Penyengat, dolar Singapura dan ringgit akan dikoversi sendiri. Tujuh wisata di daerah tersebut adalah Masjid Sultan Riau atau Masjid Kuning, Makam Raja Abdurrahman, Istana Kantor, Balai Adat Melayu, Makam Raja Ja'far, Makam Raja Aji, dan Makam Engku Putri.
"Untuk itu harusnya Rp 30 ribu. Jadi ngambil 2 dolar Singapura atau 10 ringgit saja tarifnya," tutur Andi saat berbincang dengan Liputan6.com di Pulau Penyengat Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Selasa (16/5/2017).
Pria yang bekerja dengan menyambi sebagai nelayan itu juga mengaku tidak ada masalah dengan penggunaan mata uang asing di sana. Bahkan, pemerintah disebutnya memahami kondisi itu. "Yang penting saling mengerti saja. Tidak di sini saja, di Kota Tanjung Pinang itu juga masih ada yang pakai mata uang asing," jelas dia.
"Tapi ya kita rundingan kan sama yang berpihak itu pemerintah. Tidak ngumpet-ngumpet juga kok kita begitu. Kan kita tidak melakukan hal buruk. Tidak ada masalah kok. Biasa saja, kan untuk pariwisata sini," lanjut Andi.
Sama halnya dengan Andi, warga Tanjung Pinang yang menjajakan aksesoris khas laut yakni Tuminah (50), juga berdagang dengan kebebasan turis asing menggunakan mata uang. Dia berpikir, tentu wisatawan mancanegara itu sudah mempersiapkan rupiah, tetapi terkendala dengan pengeluaran yang lebih besar dari perkiraan kala rekreasi.
"Iya diterima kok. Itu mungkin memang dia kehabisan uang rupiah. Ya dengan begitu mereka juga paham kita memberi kemudahan," ujar Tuminah.
"Banyak dari Filipina, Thailand, Singapura. Waktu itu ada dari China pesan 35 hiasan kerang ini. Pake bahasa isyarat belinya. Tapi untung pakai rupiah jadi tidak harus bawa tukar ke penukaran (uang)," dia menambahkan.
Hanya saja, perempuan berjilbab itu berharap, turis yang datang bisa sadar diri saat berkunjung ke negeri orang. Persiapkan dengan matang perencanaan kebutuhan keuangan agar tetap dapat bertransaksi dengan mata uang negara setempat.
"Di sini banyak kok tempat menukar (uang). Kita tidak keberatan ya salah satunya karena itu. Mereka juga bisa sebelum ke mana gitu mampir ke penukaran dulu ya kita senang juga," kata Tuminah.
Keramahan warga Tanjung Pinang tentu juga selaras dengan keindahan objek wisata di sana. Jadi, jangan segan mampir.